Pemerintah Pusat Diharapkan Merevisi PP 57/2016

id Kalimantan Tengah, PP 57/2016, Forum Group Discussion, FGD

Pemerintah Pusat Diharapkan Merevisi PP 57/2016

Forum Group Discussion saat jumpa pers di Palangka Raya, Senin (20/2/17). (Foto Antara Kalteng/Ronny NT)

Palangka Raya (Antara Kalteng) - Forum Group Discussion berharap Pemerintah Pusat perlu untuk merevisi kembali Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem gambut.

"Revisi perlu segera dilakukan, karena aturan itu akan menyulitkan masyarakat yang sudah turun-temurun memanfaatkan lahan gambut untuk kehidupan," kata Ketua Bidang Pengelohan Hasil Perkebunan DPN Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), Didik Hariyanto saat menjelaskan pada FGD yang bekerja sama dengan Fakultas Pertanian Universitas Palangka Raya (UNPAR) dengan Masyarakat Perkelapasawitan Indonesia (MAKSI) di Palangka Raya, Senin.

Didik memohon kepada Presiden Jokowi agar segera merevisi PP ini khususnya pada pasal-pasal yang diangap kontroversial tersebut.

"Saya kira Bapak Presiden perlu diberi masukan bahwa ada 344 ribu kepala keluarga yang hidupnya masih bergantung pada kebun sawit di lahan gambut. Kebijakan pemerintah seharusnya bisa melindungi investasi di industri sawit dalam upaya memperkuat ekonomi domestik untuk menjaga stabilitas ekonomi nasional," katanya saat jumpa pers.

PP Nomor 57 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas PP Nomor 71 Tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut memberlakukan moratorium pembukaan baru atau land clearing pada lahan gambut.

Beberapa aturan kontroversial diantaranya menyakut kriteria gambut rusak yang ditetapkan hanya berdasarkan muka air gambut yang paling rendah 0,4 meter. Selain itu, penetapan 30 persen dari kawasan Hidrologis Gambut (KHG) sebagi fungsi lindung bisa mematikan ekonomi rakyat dan investasi.

Peneliti Utama Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Prof Dr Chairil Anwar Siregar berpendapat bahwa gangguan terhadap kawasan hutan merupakan keniscayaan seiring ledakan penduduk Indonesia yang rata-rata mencapai 1,7 persen per tahun.

"Jika saja diasumsikan dari 200 juta jiwa penduduk Indonesia pertumbuhannya hanya 1 persen saja per tahun, maka ada tambahan 2 juta jiwa baru di Indonesia. Jadi jika disetarakan, angka sama dengan kapasitas 20 stadion Utama Senayan, sehingga mereka juga perlu lahan untuk pemenuhan pangan dan pemukiman," katanya.

Oleh karena itu, kata Chairil, semua pihak termasuk pemerintah tidak boleh menutup mata terhadap persoalan ini. Apalagi, Indonesia diandalkan menjadi salah satu lumbung pangan dunia.

"Jika tidak diantisipasi, neraca pangan dunia diperkirakan mengalami defisit 70 juta ton pada tahun 2025, dengan perkiraan bumi dihuni sekitar 8 miliar jiwa," katanya.

Salah satu pengajar Universitas Palangka Raya, Prof. Yustinus Sulistyanto menyarankan PP 57/2016 seharusnya tidak menyamaratakan ketentuan tinggi muka air 0,4 cm untuk semua jenis tanaman.

"Tinggi muka air 0,4 cm bisa diterapkan untuk tanaman semusim karena perakarannya pendek. Sementara itu perkebunan kelapa sawit idealnya muka air tanah antara 60-70 cm," katanya.

Ketua Umum MAKSI, Darmono Taniwiryono berharap kebijakan pemerintah harus dapat memenuhi tuntutan kepentingan kehidupan masyarakat Indonesia termasuk lingkungan, ekonomi, sosial, budaya dan perlindungan hukum sesuai yang diamanahkan oleh UUD 1945.