Nusa Dua (ANTARA
News) - Media-media internasional didorong menggencarkan pemberitaan
tentang terdamparnya pengungsi dari negara konflik di negara transit
untuk menekan maraknya penyelundupan manusia.
"Yang paling utama untuk kita dorong adalah media-media di negara
asal pengungsi agar masyarakat di sana tidak mudah menjadi pengungsi
hanya dengan menggunakan perahu kecil yang membahayakan jiwa mereka
dalam pelayaran," kata Direktur Jenderal Multilateral Kementerian Luar
Negeri RI Hasan Kleib, di Nusa Dua, Bali, Senin.
Ia akan menyampaikan persoalan tersebut dalam pertemuan pejabat
senior (SOM) "The Bali Process on People Smuggling, Trafficking in
Persons and Related Transnational Crime" di BICC, Nusa Dua, Senin hingga
Selasa (2/4).
"Sebenarnya dalam pertemuan-pertemuan sebelumnya, kita sudah
mengingatkan negara-negara media asal tentang pentingnya pemberitaan
mengenai kegagalan pengungsi ke negara tujuan," kata Hasan.
Ia justru menyayangkan media-media internasional, khususnya di
negara asal pengungsi, yang gencar memberitakan kisah sukses pengungsi
dan pencari suaka di negara tujuan.
"`Success story` (kisah sukses) pengungsi itu memotivasi rakyat di
negara konflik yang tidak mendapat kepastian ekonomi untuk keluar dari
negaranya ke negara yang dianggapnya dapat menjamin kehidupan mereka.
Mereka tanpa mempertimbangkan risiko dan bahaya yang dihadapi selama
berlayar di lautan terbuka," katanya.
Menurut dia, seharusnya media-media internasional, khususnya di
negara asal pengungsi juga memberitakan masalah terdamparnya pengungsi
di beberapa negara transit, termasuk di Indonesia.
"Wilayah lautan kita ini luasnya 3.000 mil. Kapan saja bisa terjadi
peristiwa terdamparnya pengungsi yang melakukan perjalanan dari
negaranya ke Australia atau Selandia Baru," katanya.
Indonesia menjadi Ketua "Bali Process" bersama Australia, badan PBB
untuk urusan pengungsi (UNHCR), badan PBB untuk urusan Narkoba dan
Kejahatan (UNODC), dan organisasi internasional untuk migrasi (IOM).
"Bali Process" didirikan pada 2002 dan hingga kini sudah menggelar
pertemuan yang kelima kalinya.
Dalam pertemuan yang dihadiri 200 peserta dari 35 negara anggota
"Bali Process", 11 menteri, dua wakil menteri, dan delegasi dari 18
negara peninjau serta 10 organisasi internasional peninjau di Nusa Dua
itu, Indonesia juga mendesak negara asal pengungsi untuk melakukan
deteksi dini.
"Pada pertemuan-pertemuan sebelumnya, kami sudah mengingatkan bahwa
pencegahan hanya bisa dilakukan di negara asal, sedangkan penindakan
dan perlindungan terhadap korban ada di negara transit dan negara
tujuan," katanya.
Selain penyelundupan manusia, pertemuan yang dipimpin oleh Menteri
Luar Negeri Marty Natalegawa dan Menteri Luar Negeri Australia Bob Carr
itu juga membahas tentang perdagangan manusia.
"Kalau penyelundupan manusia ini kita sebagai negara transit. Namun
pada kasus perdagangan manusia, kita ini korban sekaligus negara
penyumbang," kata Hasan.
Oleh karena itu, pertemuan tersebut tidak hanya dihadiri oleh
menteri luar negeri anggota "Bali Process", melainkan juga menteri
kehakiman, menteri imigrasi, pejabat kepolisian, dan instansi penegak
hukum lainnya.
Dalam menyikapi masalah pengungsi yang terdampar, Indonesia lebih
mengedepankan misi kemanusiaan dibandingkan penindakan karena Indonesia
belum meratifikasi Konvensi Internasional 1951 dan Protokol 1967 tentang
Status Pengungsi.
"Selama ini kita punya opsi repatriasi `voluntary` (pemulangan
secara sukarela) atau bekerja sama dengan negara tujuan dan negara
ketiga. Selama proses itu berjalan, pengungsi kita tampung," kata Hasan
menjelaskan.
Media diminta gencarkan pemberitaan soal pengungsi
...seharusnya media-media internasional, khususnya di negara asal pengungsi juga memberitakan masalah terdamparnya pengungsi di beberapa negara transit, termasuk di Indonesia.