PBB (ANTARA News) -
Sekretaris Jendral PBB Ban Ki-moon hari Rabu mendesak pemberlakuan
gencatan senjata segera setelah pertempuran mematikan di daerah Kidal,
bekas martas pemberontak di Mali utara.
Ban menyampaikan seruan itu ketika satu sumber PBB di lapangan di
Mali mengatakan kepada AFP, gerilyawan Tuareg membunuh atau menangkap
sejumlah prajurit di kota tersebut, lapor AFP.
"Sekretaris Jendral PBB sangat khawatir atas situasi yang
memburuk dengan cepat di Kidal," kata juru bicara Ban, Stephane
Dujarric.
"Ia menyerukan penghentian segera pertempuran dan pemberlakuan
gencatan senjata... Ia mengutuk pembunuhan warga sipil dan mendesak
pelakunya diadili," tambahnya.
Ban juga meminta semua pihak dalam konflik mematuhi
ketentuan-ketentuan dalam "Perjanjian Pendahuluan Ouagadougou" Juni
2013, kesepakatan gencatan senjata yang menetapkan demobilisasi
gerilyawan.
Setelah pertempuran Rabu, Gerakan Nasional bagi Pembebasan Azawad
(MNLA), sebuah gerakan separatis etnik Tuareg, mengklaim menguasai
Kidal.
Mali, yang pernah menjadi salah satu negara demokrasi yang stabil
di Afrika, mengalami ketidakpastian setelah kudeta militer pada Maret
2012 menggulingkan pemerintah Presiden Amadou Toumani Toure.
Masyarakat internasional khawatir negara itu akan menjadi sarang
baru teroris dan mereka mendukung upaya Afrika untuk campur tangan
secara militer.
Kelompok garis keras, yang kata para ahli bertindak di bawah
payung Al Qaida di Maghribi Islam (AQIM), menguasai kawasan Mali utara,
yang luasnya lebih besar daripada Prancis, sejak April tahun 2012.
Pemberontak suku pada pertengahan Januari 2012 meluncurkan lagi
perang puluhan tahun bagi kemerdekaan Tuareg di wilayah utara yang
mereka klaim sebagai negeri mereka, yang diperkuat oleh gerilyawan
bersenjata berat yang baru kembali dari Libya. Namun, perjuangan mereka
kemudian dibajak oleh kelompok-kelompok muslim garis keras.
Kudeta pasukan yang tidak puas pada Maret 2012 dimaksudkan untuk
memberi militer lebih banyak wewenang guna menumpas pemberontakan di
wilayah utara, namun hal itu malah menjadi bumerang dan pemberontak
menguasai tiga kota utama di Mali utara dalam waktu tiga hari saja.
Prancis, yang bekerja sama dengan militer Mali, pada 11 Januari
2013 meluncurkan operasi ketika militan mengancam maju ke ibu kota Mali,
Bamako, setelah keraguan berbulan-bulan mengenai pasukan intervensi
Afrika untuk membantu mengusir kelompok garis keras dari wilayah utara.
Pasukan Prancis menurunkan jumlah prajuritnya di Mali dari sekitar 5.000 pada puncaknya menjadi 1.000.
Pasukan penjaga perdamaian PBB mengambil alih keamanan pada Juli
tahun lalu dari misi militer Afrika yang mendukung pasukan Prancis.
Penerjemah: Memet Suratmadi
Berita Terkait
PBB : Situasi di Gaza 'malapetaka, tak bermoral, memalukan'
Selasa, 5 Maret 2024 16:10 Wib
Anies-Muhaimin janjikan tunjangan untuk ibu hamil, guru ngaji, dan hapus PBB
Senin, 18 Desember 2023 15:26 Wib
Gebyar undian berhadiah PBB-P2 Kotim apresiasi bagi wajib pajak disiplin
Minggu, 3 Desember 2023 8:51 Wib
Realisasi PBB-P2 Kotim capai 117,79 persen
Kamis, 16 November 2023 21:28 Wib
Polisi wanita Indonesia terima penghargaan polisi terbaik PBB
Selasa, 14 November 2023 8:15 Wib
PBB sebut 'tidak ada tempat aman di Gaza' sekalipun rumah sakit
Minggu, 12 November 2023 14:54 Wib
Indonesia sambut baik pengesahan resolusi PBB terkait Gaza
Sabtu, 28 Oktober 2023 9:20 Wib
PBB sahkan resolusi gencatan senjata kemanusiaan di Gaza
Sabtu, 28 Oktober 2023 9:17 Wib