Gunungsitoli (ANTARA News) - Berkunjung ke Nias tidak lengkap jika tidak
mengunjungi rumah adat besar Nias di Desa Bawomataluo, Kecamatan
Fanamaya, Kabupaten Nias Selatan.
Rumah adat besar ini terletak di perkampungan tempat atraksi lompat batu atau lebih dikenal dengan atraksi "uang seribu".
Dari
fisik bangunannya, rumah ini paling besar di antara rumah adat lain di
perkampungan tersebut. Tak heran jika Martinus (59), pengetua adat
mengatakan bahwa rumah adat besar ini merupakan rumah raja dahulu kala.
Menurut
Martinus rumah adat besar tersebut telah didirikan sejak tahun 1835.
Rumah adat besar ini terdiri atas dua bagian, bagian depan berbentuk
seperti aula yang digunakan untuk pertemuan-pertemuan khusus, sedangkan
bagian belakang terdiri atas lima kamar tidur.
"Dulu (kebijakan
adat) diputuskan di sini, setelah diputuskan di sini baru diangkat ke
forum umum, supaya nanti tidak ada lagi perdebatan-perdebatan," kata
Martinus.
Untuk memasuki ruang pertemuan rumah adat yang
berbentuk seperti rumah panggung ini pengunjung harus menaiki beberapa
anak tangga. Sesampainya di sana pengunjung akan melihat ukiran-ukiran
yang terdapat pada dinding ruang tersebut. Di antaranya gambar kapal,
yang menurut Martinus menceritakan masuknya kapal pertama ke Nias, yakni
kapal asal Portugis.
Selanjutnya ukiran cicak yang terdapat
pada dinding bagian atas yang merupakan suatu kepercayaan jika terdengar
suara cicak berbunyi saat rapat, hal ini berarti keputusan yang diambil
saat rapat sudah tepat.
Di sisi lain dinding, terdapat ukiran
kursi tempat orang-orang terdahulu menempatkan sebuah patung dengan
dihiasi beberapa dedaunan untuk kemudian disembah saat mereka masih
menganut animisme, sebelum kepercayaan (agama) masuk ke desa tersebut.
Pada
bagian atas (langit-langit) tergantung gendang raksasa yang dibunyikan
saat pesta-pesta pernikahan atau jika ada bangawan yang meninggal
ataupun penyambutan tamu-tamu agung.
Tengkorak rahang babi yang
tergantung pada sebatang kayu di langit-langit ruang pertemuan juga
menambah kesan unik rumah adat tersebut.
Hingga saat ini rumah
adat besar tersebut masih ditinggali oleh Martinus yang juga merupakan
keturunan kelima dari raja bersama dengan keluarganya dan dua keluarga
adik-adiknya.
Dengan usia yang telah mencapai lebih dari 200
tahun, rumah yang keseluruhannya terbuat dari kayu ini masih terlihat
kokoh. Hal ini dikarenakan bangunan tempat tinggal raja tersebut terbuat
dari kayu kuat, yang disebut Martinus "kayu besi", kayu lokal khas
Nias, di antaranya kayu hitam kavini, kayu berua, kayu manawadane, dan
kayu afoa.
Walaupun demikian, beberapa kayu pada rumah adat besar
tersebut telah lapuk dan Martinus menilai perlu dilakukan renovasi,
namun sayangnya belum ada perhatian khusus dari pemerintah untuk hal
ini.
"Kami memohon perhatian dari pemerintah, karena kami dari
keluarga tidak sanggup untuk renovasi, hanya membersihkan, apalagi
masalah anak-anak sekolah kami, kami sudah fokus di situ," kata
Martinus.
"Hasil penjualan karet hanya Rp7.000 hingga Rp10.000
rupiah per kilo, setiap hari hanya menipu-nipu waktu di kebun, karena
tiap hari ada tamu, tidak mungkin kami menutup pintu untuk tamu,"
tambahnya.
Singgah Di Rumah Adat Besar Nias
Kami memohon perhatian dari pemerintah, karena kami dari keluarga tidak sanggup untuk renovasi...