Putin: Rusia Tak Bisa Menerima Dunia Dengan "Satu Kutub"

id Presiden Rusia Vladimir Putin

 Putin: Rusia Tak Bisa Menerima Dunia Dengan "Satu Kutub"

Presiden Rusia, Vladimir Putin. (REUTERS/Francois Lenoir) Istimewa

Moskow (ANTARA News) - Presiden Rusia Vladimir Putin pada Sabtu (7/2) mengatakan negaranya takkan pernah menerima dunia dengan satu kutub.

Putin menyatakan ada kepemimpinan satu kutub "yang tak terbantahkan" yang berusaha menguasai dunia saat ini dan memaksa pihak lain agar patuh. Ia pun mengatakan Rusia takkan pernah menerima upaya semacam itu.

Dalam kongres Federasi Serikat Pekerja Independen Rusia, Putin menekankan Rusia tak bermaksud terlibat perang dengan siapa pun dan selalu bersedia bekerja sama.

Ia kembali menekankan sanksi terhadap Rusia takkan pernah memiliki dampak yang diinginkan, meskipun semua itu memang memiliki dampak negatif pada ekonomi negerinya.

"Kita harus menyadari ini, dan melancarkan segala upaya yang mungkin untuk memperkuat kedaulatan kami, termasuk sektor ekonomi," kata Putin di dalam satu pernyataan yang dipublikasikan secara online, sebagaimana dikutip Xinhua.

Putin menjanjikan sikap tegas Rusia guna melawan tekanan yang diberlakukan atas negerinya sehubungan dengan krisis Ukraina.

Wakil Presiden AS Joe Biden pada Sabtu mengatakan dalam Konferensi Keamanan Munchen Ke-51 bahwa Washigton akan terus menyediakan bantuan keamanan buat Ukraina.

Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov, yang menghadiri konferensi itu, kembali mengatakan penggelaran militer Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) di dekat perbatasan Rusia memicu bentrokan dan merusak keamanan Eropa.

"Lavrov menekan dukungan NATO bagi aksi militer Kiev di Ukraina Selatan menghambat upaya untuk menemukan penyelesaian damai bagi krisis domestik yang mendalam di Ukraina," kata satu pernyataan yang disiarkan dalan jaringan oleh kementerian tersebut.

Sekretaris Jenderal NATO Jens Stoltenberg menanggapi dengan mengatakan semua langkah yang dilakukan oleh NATO "bersifap membela diri". Ia juga berjanji akan terus membuka saluran dialog dengan Moskow.

Menteri pertahanan dari negara anggota NATO pada Kamis (5/2) memutuskan untuk memperkuat kehadiran Pakta itu di Eropa Timur dan Wilayah Baltik serta memperluas kekuatan pasukan reaksi cepatnya menjadi 30.000 personel.