Artikel - Partai Politik Masa Kini Masa Bodoh

id Partai Politik Masa Kini Masa Bodoh, parpol

Artikel - Partai Politik Masa Kini Masa Bodoh

Ilustrasi (Istimewa)

Yogyakarta (Antara Kalteng) - Partai politik di Indonesia masa kini terkesan lebih bersikap masa bodoh atau tidak peduli terhadap pendidikan politik dan tegaknya negara demokrasi.

Pengamat politik dari Universitas Gadjah Mada Purwo Santoso menilai parpol masih terjebak pada paradigma kontestasi politik, sehingga segala upaya difokuskan hanya untuk meraih kemenangan dan kekuasaaan.

"Hal itu menyebabkan peran kaderisasi dan pendidikan politik bagi masyarakat tidak dijalankan dengan baik oleh parpol," katanya pada seminar 'Revitalisasi Sistem Kepartaian Dalam Sistem Pemerintahan di Indonesia' di Yogyakarta, Senin (15/6).

Oleh karena itu, kata dia, di Indonesia tidak ada parpol yang berpegang pada satu ideologi, tetapi partaisme yang menjadi ideologi parpol-parpol di Indonesia masa kini.

Menurut dia, parpol tetap esensial dalam pembangunan sistem politik demokratis di Indonesia pascareformasi. Sayangnya, parpol justru cenderung resisten jika upaya pembangunan sistem tersebut merugikan kepentingan politiknya.

"Membangun sistem politik kalau hanya dipilih yang enak-enak dan menguntungkan parpol tentu akan menciptakan sistem yang kurang baik bagi demokrasi kita," katanya.

Sementara itu, dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta Mohamad Mahfud MD mengatakan meskipun banyak pihak yang menyorot buruknya kinerja partai politik saat ini, bukan berarti pembubaran parpol maupun DPR adalah solusinya.

"Keberadaan parpol merupakan esensi penting tegaknya negara demokrasi, sehingga yang perlu dilakukan adalah melakukan berbagai perbaikan," kata mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) ini.

Sedangkan Rektor UII Yogyakarta Harsoyo mengatakan langkah yang tepat bagi kalangan akademisi adalah melakukan kajian dan mendukung upaya perbaikan parpol melalui peran dalam bidang pendidikan. "UII sangat mendukung langkah Badan Pengkajian MPR RI yang menggandeng kalangan perguruan tinggi untuk membahas upaya revitalisasi parpol," katanya.

    
Mahar politik

Terkait dengan keberadaan partai politik, saat ini masih ramai diperbincangkan tentang mahar politik yang harus dipenuhi seseorang yang ingin diusung parpol untuk bisa maju dalam pemilihan kepala daerah (pilkada).

Pengamat politik dari Universitas Khairun (Unkhair) Ternate Ridha Adjam menilai mahar politik yang biasa diberlakukan parpol terhadap seseorang yang ingin diusung parpol dalam pilkada sulit dihilangkan.

"Kementerian Dalam Negeri memang telah melarang adanya mahar politik, tetapi saya tidak yakin kalau larangan itu dipatuhi parpol, masalahnya mahar politik selama ini sudah menjadi salah satu sumber dana bagi parpol," katanya di Ternate, Kamis (18/6).

Menurut pengamat politik yang juga Wakil Rektor I Unkhair ini, mereka yang ingin mendapatkan dukungan dari parpol untuk diusung dalam pilkada, parpol yang akan memberikan dukungan pasti akan mencari segala cara agar transaksi mahar politik tetap bisa dilakukan tanpa bisa dideteksi pihak-pihak terkait.

"Transaksi mahar politik tersebut bisa saja dilakukan dengan memanfaatkan pihak-pihak yang seolah-olah tidak memiliki hubungan dengan orang yang mendapatkan dukungan dari parpol, dan parpol yang memberikan dukungan, tetapi mahar politik itu nantinya sampai juga ke parpol pemberi dukungan," katanya.

Larangan mahar politik tersebut, menurut Ridha Adjam, memang tujuannya baik, karena bisa mengurangi biaya politik yang harus dikeluarkan seseorang yang maju dalam pilkada, serta dapat pula mencegah tampilnya calon kepala daerah yang hanya mengandalkan kekuatan dana bukan dari aspek kompetensi.

"Selama ini banyak kepala daerah yang terlibat kasus korupsi, dan salah satu penyebabnya adalah kepala daerah bersangkutan ingin mengembalikan biaya politik yang dikeluarkan saat maju dalam pilkada, termasuk di antaranya mahar politik yang dibayar kepada parpol," katanya.

Menurut dia, larangan mahar politik agar bisa dipatuhi parpol maupun mereka yang ingin mendapatkan dukungan dari parpol untuk maju dalam pilkada hanya bisa diwujudkan kalau ada kesadaran dari parpol untuk menetapkan calon bukan karena adanya mahar politik, tetapi karena kemampuan calon.

Selain itu, kata Ridha Adjam, juga harus ada regulasi yang memungkinkan untuk bisa mendeteksi terjadinya praktik mahar politik, serta adanya sanksi tegas terhadap pihak pemberi, maupun parpol sebagai penerima.

    
Tidak Ada Mahar

Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Hasto Kristiyanto mengatakan bagi parpol yang diketuai Megawati ini, tidak pernah ada permintaan uang mahar pada calon saat proses pencalonan yang bersangkutan dalam tahapan pemilu maupun pilkada.

"Kami tak pernah meminta mahar dari para calon, yang ada hanya gotong royong," kata Hasto saat ditemui di Kantor Sekretariat Taruna Merah Putih, Jalan Teuku Cik Ditiro, Jakarta, 5 Juni lalu.

Gotong royong yang dimaksud Hasto adalah mengadakan survei potensi pemilih calon yang akan diusung, acara debat atau 'focus group discussion', serta menyewa para ahli kejiwaan untuk melakukan proses seleksi calon yang membutuhkan biaya tidak sedikit.

"Yang kami katakan ini, sebelum rekomendasi wajar saja partai politik menggunakan metode seleksi baru dalam menentukan calon kepala daerah yang akan diusung," ujar dia.

Kendati demikian, dirinya enggan hal tersebut dikategorikan termasuk pelanggaran undang-undang, dan menyalahi aturan maupun norma di masyarakat serta etika berpolitik.

"Yang kami lakukan itu, bagi kami bukan pelanggaran. Yang dikatakan pelanggaran adalah jual beli rekomendasi, kemudian kami terima dana kampanye, itu pelanggaran menurut undang-undang, tapi kan kami menggunakan metode seleksi baru, jadi jangan diartikan ini jual beli jabatan," katanya.

Menurut Hasto, gotong royong tersebut hanya dilakukan di beberapa daerah yang tidak memiliki sumber daya, sehingga pihak PDIP merasa perlu melakukan 'urunan' untuk membiayai proses seleksi para calon yang bersangkutan.

Dia menegaskan, PDIP sendiri melarang adanya praktik mahar untuk membeli rekomendasi partai.

Hasto juga menilai pihak yang menjadikan seolah-olah 'urunan' dalam proses seleksi calon adalah pungutan, telah mengkerdilkan makna dari gotong royong.

"PDIP telah melarang hal tersebut di dalam peraturan partai, dan saya melihat mereka pihak yang menjadikan pembiayaan proses seleksi seolah pungutan, itu mengkerdilkan arti gotong royong," ujar dia.