Pembukaan Lahan Padi Ladang Barito Utara Berkurang

id Dinas Pertanian Barito Utara, Setia Budi, Lahan Padi Ladang

Pembukaan Lahan Padi Ladang Barito Utara Berkurang

Warga menanam memasukan padi di lubang (tugal) di lahan padi ladang atau padi gunung di wilayah Kecamatan Teweh Baru. (Foto Antara Kalteng/Kasriadi)

Muara Teweh (Antara Kalteng)-Pembukaan luas lahan untuk tanaman padi ladang atau padi gunung di Kabupaten Barito Utara, Kalimantan Tengah pada musim tanam Oktober - Maret 2017/2018 dengan sasaran hanya sekitar 5.872 hektare atau berkurang 56,35 persen dibanding tahun lalu mencapai 10.419 haktare.

"Berkurangnya luas tanaman padi ladang ini akibat adanya larangan dari pemerintah pusat membuka lahan pertanian atau perkebunan dengan cara membakar, sehingga turun drastis lahan bercocok tanam khususnya padi gunung yang tersebar di sembilan kecamatan," kata Kepala Dinas Pertanian Barito Utara, Setia Budi di Muara Teweh, Jumat.

Menurut Budi, luas lahan padi ladang yang bergantung dengan hujan ini tersebar di Kecamatan Teweh Tengah, Teweh Selatan, Teweh Timur, Lahei, Lahei Barat, Gunung Timang, Gunung Purei dan Montallat.

Lahan yang ada sekarang, kata dia, merupakan lahan bekas ladang sebelumnya yang sudah ditumbuhi semak-belukar kemudian olah menjadi lahan pertanian dan sebagian warga masih ada yang membakar secara sedikit-sedikit sehingga tidak berdampak pada kebakaran lahan dan hutan.

"Memang membuka lahan secara membakar oleh petani di daerah ini sudah dilakukan sejak turun temurun yang mampu menjaga kearifan lokal dan budaya, apalagi bagi warga Suku Dayak yang membuka lahan pertanian biasanya dengan cara skat atau membersihkan bagian pinggir lahan yang mau dibakar sehingga tidak merembat kawasan hutan lainnya," katanya.

Budi menjelaskan akibat larangan ini otomatis warga tidak bisa bercocok tanam terutama menanam padi ladang secara maksimal karena takut ditangkap. Hal itu sesuai Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup pasal 69 ayat 1 huruf (H) yakni dalam melakukan kegiatan usahanya dilarang membuka lahan dan hutan dengan cara membakar.

Kemudian Peraturan Pemerintah Nomor 4 tahun 2001 tentang pengendalian kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan lahan.

"Untuk itu harus ada solusi terbaik yang bisa diambil yakni masyarakat masih bisa tetap berladang atau bertani tapi lingkungan tetap terjaga dan tidak ada hutan dan lahan yang terbakar, kalaulah terpaksa harus dengan cara membakar juga harus terkendali dengan memperhatikan kearifan lokal," jelas dia.

Budi mengatakan menanam padi ladang ini dilakukan dengan cara tugal, warga memasukan benih padi antara 10-20 butir ke dalam lubang yang dibuat menggunakan kayu bulat itu. Jumlah warga bervariasi, ada yang hanya lima orang bahkan sampai ratusan tergantung jumlah luasan lahan pertanian.

Biasanya kalau luas lahan sekitar satu hektare paling sedikit ditanami oleh lima orang yang membutuhkan benih padi ladang sekitar 50 kilogram.

"Penanaman padi ladang ini dilakukan saat mulai memasuki musin hujan yakni sekitar akhir Oktober atau Nopember 2017 nanti menggunakan padi unggul nasional jenis jenis Inpago (Inbrida Padi Gogo) dan padi lokal jenis Talun," kata dia.

Pada musim tanam tahun ini selain padi ladang juga ditanam padi sawah di lahan seluas 3.100 hektera tersebar di Kecamatan Teweh Tengah, Gunung Timang, Teweh Timur, Teweh Selatan dan Montallat.

Sementara seorang petani padi ladang di Kelurahan Jambu Kecamatan Teweh Baru, Igang mengatakan jika tidak ada solusi dalam membuka lahan pertanian khususnya padi ladang maka tradisi yang selama ini sudah berjalan dengan tetap menjaga kelestarian lingkungan itu dikhawatirkan akan hilang.

"Kami minta solusi atau jalan terbaik untuk petani, sehingga bercocok tanam padi ladang ini tetap diusahakan warga," ujarnya.