Opini - Kekerasan Terhadap Wartawan, Kapan Berakhir?

id stop kekerasan terhadap jurnalis, wartawan

Opini - Kekerasan Terhadap Wartawan, Kapan Berakhir?

Kekerasan terhadap jurnalis mengancam kebebasan pers. (kabarmedan.com)

Palangka Raya (Antara Kalteng) -  Kekerasan terhadap wartawan terjadi lagi di Banyumas ketika ada demonstrasi menolak pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTPB). Beberapa di antaranya terluka, bahkan mereka juga dipaksa menghapus rekaman-rekaman peristiwa yang terjadi saat itu.
        
Kapolda pun meminta maaf baik kepada wartawan, mahasiswa, atau anggota keluarga yang menjadi korban, serta setidaknya ada empat oknum aparat yang diduga melakukan kekerasan terhadap wartawan pun diproses sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
        
Tampaknya, kekerasan terhadap wartawan oleh oknum aparat merupakan peristiwa klasik yang hingga kini masih saja terus terjadi.
        
Pertanyaannya, mengapa hal semacam itu terus saja terjadi? Bagaimana sebaiknya wartawan, aparat, dan siapa pun yang terkait dengan peristiwa semacam itu menyikapinya?

               Risiko Profesi
   
Sebagai seorang profesional, siapa pun mereka, termasuk wartawan satu saat akan berhadapan dengan risiko profesi.
       
Harusnya disadari oleh setiap wartawan bahwa profesi yang mereka geluti selalu mengandung adanya risiko profesi, terlebih bila peliputan kejadian atau peristiwa yang mereka liput berisiko terjadinya kekerasan, termasuk peristiwa demonstrasi yang melibatkan massa yang jumlahnya besar, seperti yang terjadi di Banyumas.
       
Oleh karena itu, sebagai seorang wartawan profesional, profesionalitas pekerjaannya akan sangat ditunjang oleh penguasaan serta pemahaman mereka setidaknya terhadap Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, UU No. 32/2002 tentang Penyiaran, Kode Etik Jurnalistik, Pedoman Penyelenggaraan Penyiaran dan Standar Program Siaran Komisi Penyiaran Indonesia (P3SPS KPI), serta pedoman kerja dari masing-masing media, tempat para wartawan tersebut bernaung.
        
Demikian pula dengan aparat yang bertugas, pada saat berhadapan dengan massa, tetap saja mereka harus mengerti serta menghargai wartawan yang dalam melaksanakan pekerjaannya dilindungi oleh UU serta aturan-atruran lain yang berlaku.
        
Aparat pun juga memedomani SOP-nya masing-masing dalam bertugas.
        
Bila di antara keduanya saling mengerti serta menghargai satu sama lain sesuai dengan berpedoman pada standar operasional mereka masing-masing, niscaya benturan yang tidak perlu di antara keduanya akan bisa dihindarkan.
        
Masalahnya, dalam meliput sebuah peristiwa yang melibatkan massa, misalnya demonstrasi, meski korlap (koordinator lapangan) telah memberikan briefing atau semacamnya sebelum melakukan demonstrasi, psikologi massa sering sulit dikendalikan.
        
Terlebih, bila ada oknum yang memprovokasi, bak pemantik kompor gas, api tindakan massa yang liar dan tak terkendali akan mudah tersulut.
        
Bila setiap unsur memahami protapnya masing-masing, sesuai dengan aturan yang berlaku, demo harus sudah berakhir pukul 18.00 WIB.
        
Bila aturan itu dilanggar, berbagai kemungkinan yang mengarah terjadinya kekerasan akan mudah terjadi. Demo menolak PLTPB di Banyumas salah satu contohnya.
        
Sebenarnya, bila sesuai dengan aturan demo bubar pukul 18.00 WIB, aparat akan bisa beristirahat. Demikian pula, dengan para wartawan.
        
Persoalannya, ketika pedemo melanggar aturan, menolak imbauan aparat, bahkan akan mendirikan tenda, aparat akan berupaya membubarkannya sesuai dengan protap mereka, dan wartawan pun akan terus meliput seuai dengan fungsi informasi, mediasi, bahkan mungkin advokasi yang mereka miliki, karena memang itulah profesi yang mereka jalani.

    
               Aktualitas dan Objektivitas
   
Pelanggaran aturan oleh pedemo itulah sebenarnya yang merupakan pemicu persoalan. Mungkin pedemo punya alasan lain mengapa tidak mau bubar. Namun, aturan yang berlaku seharusnya mereka taati.
        
Dengan pelanggaran itu, aparat yang mestinya beristirahat dan lelah setelah seharian bertugas harus menghadapi tugas yang lebih berat, terlebih tatkala kekerasan mulai terjadi.
        
Wartawan pun sesuai dengan profesinya tentu akan memilih terus bertugas sembari memilih momen ataupun peristiwa yang mereka anggap paling aktual dan menarik karena ketatnya persaingan antarmedia, terlebih canggihnya teknologi komunikasi, utamanya internet, menyebabkan dengan mudahnya para peliput amatir juga menyebarluaskan peristiwa itu.
        
Bagi media arus utama (mainstream), aktualitas berita itu penting. Namun, sebenarnya menyajikan berita secara objektif sesuai dengan Teori Objektivitas Berita dari Westersthall lebih bermanfaat, dan setidaknya akan menjaga kondusivitas hubungan dengan aparat.
        
Dengan menyajikan berita yang faktual, relevan, netral, serta berimbang, seperti kata Westersthall tersebut, kemungkinan benturan yang terjadi dengan aparat karena saling salah persepsi dapat dihindari.
        
Melalui cara itu, sebenarnya wartawan tidak perlu terkesan membela demontran di mata aparat, tetapi dapat tetap menyajikan informasi yang aktual, menarik, didukung fakta, serta relevan dengan kepentingan banyak orang.
        
Di sisi lain, aparat dapat berkonsentrasi penuh mengamankan ataupun membubarkan demonstran tanpa merasa khawatir akan terberitakan secara tidak berimbang serta netral, yang dalam benak aparat tentu akan sangat merugikan citra mereka.

    
               Sinergitas
   
Intinya, bila antara wartawan dan aparat yang sedang menjalankan tugas serta kewajibannya masing-masing dengan benar, niscaya benturan di antara keduanya akan dapat dihindarkan.
        
Di alam reformasi yang penuh keterbukaan saat ini, sebenarnya gaya aparat dalam menjalankan tugas sudah sangat berbeda daripada masa sebelumnya.
       
Aparat yang bertugas, baik itu dari Polri maupun TNI, telah banyak diberikan pencerahan oleh para pimpinannya sehingga rata-rata mereka bisa menjalankan tugasnya dengan baik.
        
Kalau terkadang terkesan masih ada oknum yang menyimpang, memang itulah sifat manusia yang tidak sempurna dan memerlukan pembinaan.
        
Intinya kekerasan terhadap wartawan sebagai risiko profesi tetap saja mungkin akan terjadi. Untuk mengurangi atau menghindarkannya, sebaiknya dalam menjalankan profesinya mereka  perlu memedomani UU dan peraturan yang terkait dengan profesinya, serta memanfaatkan kemampuan empatinya secara maksimal.
        
Demikian pula sebaiknya dengan aparat yang bertugas, serta siapa pun yang melakukan kegiatan yang berpotensi terpublikasi.
        
Hanya sinergitas di antara merekalah yang diharapkan akan memiminalkan kekerasan yang dilakukan oleh oknum aparat terhadap masyarakat, khususnya terhadap wartawan. Bila itu tetap saja terjadi, sejatinyalah mereka semuanya yang akan rugi.

 *) Penulis adalah dosen dan Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi (STIKOM) Semarang.