Artikel - Belajar Islam Secara Empiris di Jerman

id studi islam di jerman, goethe institute, jerman

Artikel - Belajar Islam Secara Empiris di Jerman

Seorang muslimah di Jerman pada saat pada saat Konferensi pemuda Islam di Jerman beberapa waktu lalu. (en.qantara.de)

 "Mempelajari Islam di sini bukan untuk membuktikan Islam benar atau tidak benar," kata Husni Mubarak, Dosen Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh saat kunjungannya ke Jerman beberapa waktu lalu.

Husni merupakan salah satu dari 14 partisipan "Study Trip Program 2017: Life of Muslims in Germany" yang digagas oleh Pemerintah Jerman melalui Pusat Kebudayaan Goethe Institut.

Lulusan program doktoral Omdurman Isamic University, Sudan, itu berkesempatan untuk menggali pengetahuan serta bertukar pengalaman terkait Studi Islam dengan sejumlah pakar di Georg-August Universitat Gottingen, Goethe Universitat Frankfurt Am Main dan Humboldt-Universitat zu Berlin.

Studi Islam di Jerman sendiri semakin berkembang seiring dengan terus bertambahnya penganut muslim yang bermukim di negeri yang terbilang cukup ramah terhadap para imigran itu.

Kanselir Jerman Angela Merkel pernah menyatakan bahwa Muslim merupakan bagian dari Jerman ketika sejumlah pemimpin negara-negara Barat menolak kencangnya arus imigran Muslim yang mencari suaka akibat tanah kelahirannya dibumihanguskan lewat perang.  
   
Bukan tanpa alasan, Merkel menganggap para imigran Muslim dari negara Timur Tengah bukanlah kaum terbelakang, melainkan kaum intelektual yang mampu berkontribusi dalam membangun Jerman.

Islam di Jerman pertama kali hadir mulai abad ke-17 lewat jalinan hubungan dengan Kerajaan Ottoman.

Kemudian terus berkembang hingga pada setelah Perang Dunia II di mana Jerman membutuhkan banyak sekali tenaga untuk membangun kembali negara yang hancur.

Saat itu, berbondong-dondong penduduk Turki datang ke Jerman sebagai pekerja yang diharapkan akan kembali ke tanah airnya setelah bekerja di Jerman.

Kenyataannya, hal itu tidak terjadi, justru mereka membawa keluarganya untuk tinggal di Jerman dan tidak kembali ke Turki.

Berdasarkan data dari Goethe Institut, jumlah Muslim di Jerman pada 1945 hanya 6.000 orang, namun terus meningkat pada 1972 menjadi 500.000 orang dan naik dua kali lipat pada 1976 menjadi 1,2 juta.

Saat ini, Muslim asal Turki masih menjadi komunitas terbesar, yaitu menempati 50,6 persen atau 2,2 juta orang dalam komunitas Muslim di Jerman, kemudian diikuti Timur Tengah 17,1 persen atau 774.975 orang, Eropa Tenggara 11,5 persen atau 518.938 orang, Afrika Utara 5,8 persen atau 264.429 orang, Asia Tengah 2,4 persen atau 106.540 orang dan Iran 1,9 persen atau 84.956 orang.

Mengacu pada data Pew Research Center, terdapat 4,8 juta Muslim atau 5,8 persen di Jerman dari total populasi 82,67 juta penduduk, artinya Muslim merupakan kaum minoritas terbesar di Jerman.

Seiring perkembangan zaman, aliran Islam itu sendiri beragam, termasuk Jerman di mana terdapat berbagai aliran yang hidup secara berdampingan.

Yang terbanyak adalah Sunni, yaitu 74 persen, Alevi 13 persen, Syiah tujuh persen, Ahmadiyah dua persen dan lainnya empat persen.

Seiring dengan bertambahnya penduduk muslim di Jerman, pembelajaran Islam juga berkembang baik di sekolah, maupun di universitas.

Menurut Husni, Studi Islam di Jerman, terutam kajian orientalistik semakin berkembang. Awalnya lebih kepada kajian normatif atau doktrin, namun saat ini banyak menggabungkan berbagai disiplin ilmu, maka lahirlah multidisipliner atau interdisipliner dengan pendekaran antropologi, etnografi, sejarah, sosiokultural dan lainnya.

"Sah-sah saja untuk mengakaji Islam di Barat, cuma bukan kajian Islam yang benar atau tidak benar, melainkan dengan spektrum yang lebih luas dari apa yang kita pelajari di Indonesia maupun di Timur Tengah," ujarnya.

Karena ruang yang diberikan sangat luas dalam mempelajari Islam, lulusan Fakultas Syariah Universitas Al Azhar Kairo, Mesir itu menyarankan harus terlebih dahulu memiliki prinsip keislaman yang kuat.

Kajian di lembaga pendidikan itu cenderung liar karena sangat banyak mendobrak apa yang menurut mereka mapan, tidak sungkan-sungkan mendobrak kebenaran final yang bisa diterima ataupun tidak oleh umat Muslim, katanya.

Namun, tidak ada salahnya untuk memperluas cara pandang, ditambah di universitas-universitas Jerman lebih banyak diadakan kolokium, konferensi dan lokakarya.

"Di sini lebih banyak kesempatan untuk berdiskusi yang akan memperkaya wawasan kita, sebelum hasil penelitian  itu dijadikan artikel, dimapankan terlebih dahulu dalam konferensi, di kita cenderung kurang ada kegiatan timbal balik semacam itu," tuturnya.

    
             Berkembang Pesat
   
Pakar Hukum Islam Institusi Studi Islam dan Arab Georg-August Universitat Gottingen Irene Schneider mengatakan saat ini jumlah mahasiswa yang terdaftar dalam departemen studi Islam di universitas tersebut sekitar 200 mahasiswa dan tidak semua pemeluk agama Islam.

Irene menjelaskan studi Islam di sana bukan untuk mencetak ulama, guru atau imam masjid tetapi lebih kepada pendekatan empiris, artinya Islam dipelajari dari sisi sejarah, budaya dan pendekatan lainnya.

Studi Islam berbeda dengan teologi Islam di mana pembelajaran lebih luas dari pembelajaran agama, kata profesor dengan konsentrasi bidang hukum keluarga, pidana dan publik itu.

Irene menuturkan selama ini pembelajaran studi Islam masih berkiblat ke Timur Tengah, masih sangat jarang untuk berpedoman pada referensi orientalistik atau perkembangan Islam di belahan dunia Timur, termasuk Indonesia.

Meski demikian, kata dia, tidak sedikit penelitian yang dilakukan di Indonesia di mana banyak mahasiswa yang mempelajari Bahasa Indonesia guna meneliti manuskrip atau naskah kuno yang ditulis oleh para syeikh serta kyai beratur-ratus tahun yang lalu.

Menurut profesor sejarah Islam di Asia Tenggara, khususnya Indonesia Georg-August Universitat Gottingen Fritz Schulze menilai tidak sah bagi peneliti untuk mempelajari tentang Islam di satu negara tanpa memahami bahasa asli negara tersebut.

"Bagaimana ceritanya mempelajari Islam di Indonesia tanpa paham bagaimana mereka menulis, bagaimana mengerti suatu naskah," ujar ujar profesor yang juga pernah melakukan penelitian kerja sama dengan Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta dan Universitas Indonesia itu.

Salah satu kandidat penyabet gelar Ph.D Studi Islam di Georg-August Universitat Gottingen Judith Korschorke juga fasil berbahasa Arab dan Indonesia dan tengah melakukan penelitian mengenai hak waris bagi perempuan.

"Di kelas saya itu komposisinya hampir seimbang, setengah beragama Islam dan setengah lagi bukan," ujarnya.

Sama halnya dengan Aleah Connley, mahasiswi Humboldt Univesitat zu Berlin meski tidak mempelajari studi Islam. Da menilai Islam memiliki peranan sangat penting dalam sistem demokrasi di Indonesia.

"Saya melihat bagaimana konstelasi politik dan demokrasi di Indonesia dipengaruhi oleh Islam," kata peneliti yang berfokus di Studi Asia Tenggara, terutama Indonesia itu.

    
            Beragam Aliran 
   
Pakar Studi Budaya dan Agama Islam Goethe Universitat Frankfurt Am Main Profesor Bekim Agai menuturkan dengan beragamnya aliran Islam yang dianut, beragam pula kebutuhan akan pembelajaran Islam yang sesuai dengan masing-masing mahzab yang dianut.

Hal itu cukup menjadi kendala dalam mencetak guru di Departemen Teologi Islam yang bisa memfasilitasi seluruh pembelajaran semua aliran.

Guru dengan murid seringkali menganut mahzab yang berbeda, misalnya guru seorang Sunni, sementara murid Syiah.

Kendati demikian, Agai mengatakan pihak sekolah berusaha memenuhi kebutuhan belajar siswa dan mengajarkan Islam dengan pemahaman secara umum.

Hal sama juga disampaikan Aktivis Muslim sekaligus Ketua Komunitas Landesverband des Zentralats Zentralrat der Muslime Berlin Mohamad Hajjaj yang mengatakan bahwa hal itu menjadi tantangan bagi para dosen dan profesor untuk mengajarkan Islam.

Seringkali murid atau mahasiswa merasa pelajaran di sekolah dan di universitas berbeda dengan apa yang mereka pelajari dari imam masjid mereka, ujarnya.

Dampak buruknya adalah bagi yang pemahaman Islamnya tidak begitu kuat, mereka memilih untuk tidak meyakini keduanya dan berhenti untuk melakukan ibadah ritual, seperti shalat.

Meski demikian, studi Islam terus berkembang bukan dalam konteks seseorang menjadi relijius, tetapi menjadi lebih berwawasan akan Islam itu sendiri.

"Dan kami terus berjuang agar keterwakilan Muslim di parlemen menjadi lebih banyak lagi, karena kami tidak ingin dikenal sebagai imigran atau keturunan Turki maupun Arab, kami orang Jerman, Muslim Jerman, warga negara Jerman dan memiliki kewarganegaraan Jerman," ujarnya.