Pembebasan Mantan Direktur RSUD Murjani Tergantung Menkumham

id Kotim, Sampit, Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Sampit, Yuendri Irawanto,

Pembebasan Mantan Direktur RSUD Murjani Tergantung Menkumham

Mantan Direktur RSUD dr Murjani Sampit Kabupaten Kotawaringin Timur, Kalteng, dr Yuendri Irawanto. (Ist)

Sampit (Antara Kalteng) - Nasib pembebasan bersyarat mantan Direktur RSUD dr Murjani Sampit Kabupaten Kotawaringin Timur, Kalteng, dr Yuendri Irawanto, tergantung keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly.

"Saya sudah bahas karena itu kewenangannya sampai ke menteri. Terkendalanya di situ. Karena untuk mereka yang kasus korupsi, memiliki ekspektasi yang kuat dari lembaga-lembaga yang konsen terhadap narapidana kasus korupsi, dalam hal ini ICW," kata Kepala Divisi Pemasyarakatan Kantor Wilayah Kamenterian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) Kalimantan Tengah, Anthonius M Ayorbaba di Sampit, Rabu.

Menuru dia, selektivitas itu harus diteliti dan diperiksa kembali serta mekanismenya panjang sampai finalisasinya di menteri.

Usulan pembebasan bersyarat Yuendri menjadi perhatian masyarakat karena dinilai ada perlakuan berbeda. Yuendri tidak mendapat remisi yang menjadi haknya, sementara dr Ratna Yuniarti yang merupakan rekannya sesama mantan Direktur RSUD dr Murjani dan terseret kasus hukum yang sama dan divonis lebih lama, justru mendapat remisi total 15 bulan.

Anthonius dan Kepala Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Sampit, Muhammad Khaeron tidak ingin disalahkan dalam masalah ini. Mereka kompak menyatakan sudah menyampaikan usulan pembebasan bersyarat Yuendri ke Kementerian Hukum dan HAM, namun semua keputusan tergantung menteri.

Anthonius mengatakan, dirinya dan Khaeron secara bergantian mempertanyakan masalah ini ke Kementerian Hukum dan HAM. Mereka berharap prosesnya dipercepat dan Yuendri mendapatkan haknya.

Dijelaskannya, usulan remisi maupun pembebasan bersyarat bagi terpidana kasus korupsi harus disidangkan oleh Tim Pengamat Pemasyarakatan. Banyak usulan pembebasan bersyarat dari seluruh provinsi, membuat prosesnya membutuhkan waktu untuk penjadwalan sidang.

"Dengan berbagai perubahan dan kemungkinan ini, kita mau progress-nya secara cepat. Tapi kalau di situ sudah berjalan dan waktu pak menteri (sibuk), `kan kita tidak bisa mengatur menteri. Kita tidak harus mengusulkan ulang. Yang sudah ada akan diproses, tapi proses itu sudah berjalan ke menteri dan itu yang kita tunggu," ujar Anthonius.

Praktisi hukum di Kotawaringin Timur, Muhammad Rifqi Nasrullah menilai masalah ini bisa saja mengarah pada bentuk maladministrasi. Bahkan lebih parah lagi, kasus ini sudah melanggar hak dasar narapidana untuk mendapatkan pengurangan masa pemidanaan.

Rifqi khawatir diabaikannya hak remisi Yuendri, lantaran tidak diurus dengan baik oleh pejabat berwenang, padahal Yuendri berhak mendapatkan remisi. Apalagi Yuendri berperilaku baik dan mengabdi memberikan pelayanan kesehatan di lembaga pemasyakatan.

"Jika itu yang terjadi, maka bisa kategorikan sebagai maladministrasi," katanya.

Kejadian ini harus ditelusuri dan disikapi secara serius. Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia beserta jajaran harus menunjukkan kepada masyarakat bahwa tidak ada "permainan" dan diskriminasi dalam pemberian remisi terhadap narapidana.

"Kalau ternyata kemudian hak remisi berupa pembebasan bersyarat itu tidak diterima oleh Pak Yuendri karena kelalaian pihak Lapas, maka ini harus menjadi perhatian dan perlu dilaporkan ke Ombudsman dan Kementerian Hukum dan HAM, bahkan Komnas HAM," tegas Rifqi.

Baca: Terpidana Alkes di Kotim "Galau" Diperlakukan Berbeda

Kasus korupsi pengadaan alat kesehatan di RSUD dr Murjani Sampit senilai Rp20 miliar, menjerat empat orang yang dianggap terlibat.

Yakni Asep Aan Apriadi merupakan direktur PT Sanjico Abadi pemenang lelang proyek, Erliana merupakan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) kegiatan, dr Yuendri Irawanto yang saat itu menjabat Direktur RSUD dr Murjani Sampit dan dr Ratna Yuniarti, mantan Direktur RSUD dr Murjani Sampit.

Yuendri lebih dulu ditahan dan divonis pidana lebih ringan dibanding Ratna, namun Yuendri harus menjalani masa pidana lebih lama dibanding Ratna. Hal itu terjadi karena remisi Yuendri tidak dihitung dalam pertimbangan pembuatan surat keputusan tentang asimilasi kerja sosial dan pembebasan bersyarat oleh Kementeriam Hukum dan HAM.

Yuendri dipidana lima tahun enam bulan dan ditahan sejak 20 Januari 2014, kemudian menjalani asimilasi kerja sosial sejak 17 September 2017. Dia akan menjalani pembebasan bersyarat mulai 18 Agustus 2018.

Jika remisi 15 bulan dihitung seperti diterima Ratna seharusnya Yuendri sudah bebas pada Agustus 2017.

Ratna Yuniarti yang divonis lebih lama, yakni pidana enam tahun dan ditahan sejak 27 Januari 2014, kemudian menjalani asimilasi sejak 30 Mei 2017, mendapat remisi 15 bulan. Ratna akan menjalani pembebasan bersyarat mulai 15 Februari 2018.