Opini - Dilema Pungutan Sekolah

id ombudsman kalteng, pungutan sekolah, saber pungli

Opini - Dilema Pungutan Sekolah

Ombudsman RI Perwakilan Kalimantan Tengah diundang untuk melakukan sosialisasi terkait pungutan, berlokasi di salah satu SMP Negeri di Kota Palangka Raya yang dihadiri oleh seluruh Kepala Sekolah SMP Negeri se-kota Palangka Raya beberapa waktu lalu.

Oleh: Yogie Oktavianus Sihombing*


Beberapa waktu yang lalu, Ombudsman RI Perwakilan Kalimantan Tengah diundang untuk melakukan sosialisasi terkait pungutan, berlokasi di salah satu SMP Negeri di Kota Palangka Raya yang dihadiri oleh seluruh Kepala Sekolah SMP Negeri se-kota Palangka Raya. Alasan diundangnya Ombudsman RI Perwakilan Kalimantan Tengah dari pihak sekolah adalah Ombudsman RI merupakan salah satu bagian dari tim Saber Pungli (Sapu Bersih Pungutan Liar) yang nantinya akan membahas bersama mekanisme pungutan uang sekolah. Kebetulan saat itu Kepala Perwakilan Ombudsman RI Perwakilan Kalimantan Tengah mendelegasikan penulis selaku Asisten Ombudsman dan rekan lainnya sesama Asisten Ombudsman untuk menyampaikan materi terkait pungutan sekolah. 

Penulis sebenarnya memprediksi akan banyak pertanyaan dan perdebatan pihak sekolah terkait permasalahan pungutan tersebut yang mengacu kepada Permendikbud Nomor 44 Tahun 2012 tentang Pungutan dan Sumbangan Biaya Pendidikan pada Satuan Pendidikan Dasar dan Permendikbud Nomor 75 Tahun 2017 tentang Komite Sekolah. Kekhawatiran ini sangat beralasan, karena pihak sekolah merasa khawatir mereka akan terjerat sewaktu-waktu oleh Tim Saber Pungli dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) apabila salah mengambil langkah terkait pungutan, padahal menurut pihak sekolah pungutan tersebut sangat membantu dalam meningkatkan kegiatan operasional sekolah dalam membantu peserta didiknya menempuh pendidikan dan juga menutupi dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang tidak mencukupi dalam membantu operasional sekolah. Jadi, Penulis di sini akan menjelaskan apa saja poin penting dari dua Permendikbud tersebut.

Permendikbud Nomor 44 Tahun 2012 & Permendikbud Nomor 75 Tahun 2017

Permendikbud Nomor 44 Tahun 2012 ini mengatur secara garis besar mengenai pungutan pendidikan untuk SD dan SMP, karena untuk SMA dan SMK belum diatur dalam peraturan ini. Pada Pasal 1 ayat (2) menyebutkan pungutan adalah penerimaan biaya pendidikan atau berupa uang dan/atau barang/jasa yang diberikan oleh peserta didik atau orang tua/wali secara langsung yang bersifat wajib, mengikat, serta jumlah dan jangka waktu pemungutannya ditentukan oleh satuan pendidikan dasar. Dilihat lagi, pada Pasal 5 terkait sumber biaya pendidikan pada satuan pendidikan dasar yang diselenggarakan oleh Pemerintah didapat dari: APBN, APBD, sumbangan peserta didik, orang tua/wali, lembaga lain yang tidak mengikat dan bantuan pihak lainnya yang tidak mengikat. 

Poin pentingnya adalah salah satu sumber pendidikan yang sah adalah sumbangan, bukan pungutan, karena definisi sumbangan menurut Pasal 1 ayat (3) adalah bersifat sukarela, tidak memaksa, tidak mengikat, dan tidak ditentukan besaran nilai dan jangka waktunya. Jadi di sinilah dasar pungutan itu dilarang, sedangkan apabila terbukti pihak sekolah tersebut melakukan pungutan maka harus mengembalikan sepenuhnya kepada peserta didik atau pun orang tua/wali peserta didik berdasarkan Pasal 16. 

Di sisi lain pihak sekolah mengeluhkan apabila mereka menerapkan sistem sumbangan, tidak akan mencukupi operasional sekolah yang tidak ter-cover oleh dana BOS karena sifat sumbangan yang sukarela, jadi bisa saja diberikan atau tidak. Namun jika melakukan pungutan dengan besaran nilai rupiah yang ditentukan, secara tidak langsung pihak sekolah bisa menganalisa kebutuhan operasional sekolah untuk peserta didik, bahkan pihak sekolah melakukan strategi dengan melakukan cicilan dan berdasarkan persetujuan orang tua/wali peserta didik yang mampu secara ekonomi, dan tidak dibebankan kepada peserta didik yang tidak mampu secara ekonomi. Namun apakah hal ini dibenarkan? Kembali lagi pada definisi pungutan yang bersifat mengikat artinya dilarang pada peraturan tersebut.

Berikutnya adalah penjelasan tentang Permendikbud Nomor 75 Tahun 2017. Peraturan ini mengatur tentang tugas dan fungsi komite sekolah, titik berat penjelasan di sini adalah bagaimana mekanisme penggalangan dana dari pihak komite sekolah dalam memberikan dukungan baik itu tenaga, sarana dan prasarana serta pengawasan pendidikan, apakah pungutan diperbolehkan untuk komite sekolah? 

Pada Pasal 10 menjelaskan penggalangan dana dan sumber biaya pendidikan lainnya berbentuk bantuan dan/atau sumbangan, bukan pungutan. Jadi jelas, pungutan pun dilarang untuk komite sekolah. Penggalangan dana berupa bantuan dan/atau sumbangan ini pun ada mekanismenya, komite sekolah harus membuat proposal yang diketahui oleh sekolah dan dibukukan pada rekening bersama antara komite sekolah dan sekolah, lalu hasil penggalangan ini digunakan untuk menutupi kekurangan biaya satuan pendidikan, kegiatan peningkatan mutu sekolah yang tidak dianggarkan, pengembangan sarana prasarana, dan untuk kegiatan operasional komite sekolah yang dilakukan secara wajar dan harus dipertanggungjawabkan secara transparan. Penggalangan dana ini pun ada batasannya, jadi tidak boleh berasal dari perusahaan rokok, perusahaan minuman beralkohol, dan partai politik. Pada Pasal 12 kembali menegaskan larangan bagi komite sekolah, beberapa diantaranya adalah menjual buku pelajaran, pakaian seragam dan melakukan pungutan dari peserta didik atau orang tua/walinya.

Kedua peraturan dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan inilah yang menjadi simalakama bagi dunia pendidikan, khususnya pihak sekolah dan komite sekolah, apabila mereka melakukan pungutan dengan dalih sumbangan, tentu menyalahi aturan bahkan bisa saja kena OTT dari Tim Saber Pungli, dan sebaliknya, jika mereka tidak melakukan langkah strategis dalam menggalang dana, maka kegiatan sekolah pun akan terhambat dan membuat peserta didik tidak optimal dalam proses belajar mengajar. Jadi harus bagaimana? 

Perlu diketahui, Ombudsman RI di sini memang benar adalah bagian dari Tim Saber Pungli namun sebatas pada bagian pencegahan, bukan penindakan seperti OTT yang selama ini dikhawatirkan pihak sekolah, karena tugas penindakan ada pada Kepolisian. Karena prinsip Ombudsman RI bekerja dalam penyelesaian laporan masyarakat secara persuasif, bukan represif. 

Kesimpulannya, aturan tetap aturan, bagaimana pun bentuknya, pungutan sekolah tidak dibenarkan. Kiranya jangan menitikberatkan semua permasalahan ini hanya pada lembaga pengawasan seperti Ombudsman RI maupun Tim Saber Pungli. Sudah seharusnya sosialisasi seperti ini yang diundang bukan hanya Ombudsman RI dan Tim Saber Pungli, wajib juga duduk bersama pihak Pemerintah Daerah untuk berdiskusi bersama pihak sekolah, karena peran penting justru dari Pemerintah Daerah itu sendiri selaku pembina yang sudah menjadi tugasnya membina dan menjadi pemecah masalah dari tiap permasalahan sekolah-sekolah tersebut dengan mendengarkan curahan hati pihak sekolah. Pada dasarnya jika anggaran daerah tidak dialokasikan atau ditambahkan secara khusus dibidang pendidikan guna mencegah pungutan dan optimalisasi kegiatan sekolah, bukan hal yang mengejutkan jika laporan dari masyarakat tentang pungutan akan semakin banyak jumlahnya. Untuk saat ini, mau tidak mau, suka tidak suka, sekolah pun harus mengubah sistemnya berbasis sumbangan, bukannya sistem sumbangan berbentuk pungutan yang barang tentu jelas berbeda definisi dan menyalahi aturan. 

*Penulis adalah Asisten Ombudsman RI Kalimantan Tengah