Artikel - Siapa diuntungkan dari Pilkada langsung?

id pilkada 2018, pilkada,KPK

Artikel - Siapa diuntungkan dari Pilkada langsung?

Ilustrasi. (Istimewa)

Jakarta (Antaranews Kalteng) - Survei KPK terhadap peserta pilkada 2016 dan 2017 menunjukkan adanya peran signifikan donatur dalam pelaksanaan pemilihan.

Dari 150 responden yaitu 59 orang calon kepala daerah dan 91 orang calon wakil kepala daerah pada 2017, ada 82,6 persen yang menyatakan keberadaan donatur dalam pendanaan pilkada atau meningkat dari 70,3 persen dari survei 2016.

Hal yang menarik, ada 71,3 persen donatur memberi tanpa diminta dan hanya 1,3 persen menjadi donatur karena ada calon yang menghubunginya. Donatur itu berasal dari perseorangan-pebisnis (18 persen), partai politik-organisasi (18 persen), politisi persorangan (13 persen), poltiisi-pebisnis (enam persen).

Artinya donatur memang proaktif mendekati calon kepala daerah. Calon walikota-wakil walikota paling disukai donatur, menyusul bupati dan gubernur. Calon kepala daerah melakukan seluruh pendekatan (pasif, aktif atau keduanya) dalam menjaring donatur. Jenis donatur perorangan-kelompok berpengaruh terhadap jenis balasan yang diharapkan.

Nah sebagai balasan, para calon mengaku donatur berharap mendapat bagian dari APBD yaitu sebesar 47 persen berharap mendapat bansos-hibah kegiatan sosial dan 73 persen mendapat proyek pemerintah (PBJ). Sedangkan terkait kewenangan, ada 34 persen donatur mengharapkan akses penentuan kebijakan, 56 persen mengharap akses jabatan di pemda/BUMND, 76 persen mengharap kemudahan perizinan dan 77 persen keamanan bisnis.

Kantong-kantong berisiko itu memang terbukti menjadi area bancakan kepala daerah yang mencalonkan diri dalam pilkada 2018 dengan adanya empat operasi tangkap -tangan (OTT) KPK dalam dua pekan terakhir.

OTT KPK terhadap Bupati Jombang,Jatim Nyono Suharli Wihandoko pada 3 Februari 2018 adalah karena Nyono diduga menerima suap Rp434 juta dari Plt Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Jombang Inna Silestyowati. Tujuannya agar Inna mendapat jabatan definitif sebagai kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Jombang.

Nyono sebagai petahana ingin kembali memimpin Jombang pada pilkada Jombang 2018. Ia berpasangan dengan Subaidi Muhtar yang diusung lima parpol, yaitu Partai Golkar, PKS, PKB, PAN dan Partai Nasdem.

Selanjutnya pada 11 Februari 2018 Bupati Ngada, Marianus Sae yang mencalonkan diri sebagai calon gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT) dari PDI-Perjuangan dan PKB berpasangan dengan Emelia Julia Nomleni tertangkap tangan.

Marianus diduga menerima suap dari kontraktor di kabupaten Ngada Wilhelmus Iwan Ulumbu senilai sekitar Rp4,1 miliar. Juru bicara KPK Febri Diansyah menyatakan ada dugaan awal uang tersebut digunakan untuk Pilkada 2018.

Masih ada Bupati Subang,Jabar, Imas Aryumningsih yang ditahan petugas KPK pada 13 Februari 2018 dari rumah dinasnya di Subang. Ia diduga menerima pengurusan perizinan di lingkungan Pemkab Subang yang diajukan dua perusahaan yaitu PT ASP dan PT PBM senilai Rp1,4 miliar.

Imas sebagai petahana maju sebagai calon bupati Subang berpasangan dengan Sutarno dalam Pilkada Subang 2018.

Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan mengatakan sebagian uang yang diterima diduga untuk kampanye bupati Subang. Imas juga menerima fasilitas pemasangan baliho dan sewa kendaraan untuk kebutuhan kampanyenya.

Keempat, ada Bupati Lampung Tengah Mustofa yang mencalonkan diri sebagai gubernur Lampung 2018 bersama dengan Ahmad Jajuli.

Mustofa ditahan pada 15 Februari 2018 malam karena diduga mengarahkan agar terkumpul dana sebesar Rp1 miliar yang diberikan kepada anggota DPRD agar DPRD setuju memberikan rekomendasi atas pinjaman daerah kepada PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI) sebesar Rp300 miliar. Uang itu berasal dari para kontraktor di kabupaten Lampung Tengah.

Artinya, balasan yang diharapkan donatur pilkada terkait dengan jabatan yang diemban kepala daerah mengakibatkan terjadinya benturan kepentingan sudah nyata di depan mata. 
     Duit beli duit
Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menyatakan bahwa Kemendagri juga sudah memetakan daerah-daerah rawan korupsi.

Daerah-daerah itu adalah (1) pengadaan barang dan jasa (2) hibah dan bansos, (3) pajak dan retribusi daerah, (4) perjalanan dinas, (5) perizinan dan jual beli jabatan dengan berbagai variannya.

"Sering kami sampaikan resmi dan tertulis dan forum diklat kepala daerah, forum pengawasan dengan KPK, Irjen Kemendagri, BPK, BPKP, tapi kalau masih ada OTT penegak hukum ya kembali ke individunya karena sistem pencegahan sudah ada, harusnya pejabat pusat dan daerah sudah paham," kata Tjahjo pada Jumat (16/2).

Namun meski sistem pencegahan sudah ada, bila biaya pilkada tetap mencekik leher, maka apa yang bisa dilakukan oleh para penyelenggara negara untuk membiayai pilkada itu selain melakukan korupsi? Biaya pilkada bupati dan walikota menurut survei KPK adalah mencapai Rp20 miliar-Rp30 miliar sedangkan untuk gubernur bahkan hingga Rp20 miliar-Rp100 miliar.

Deputi Pencegahan KPK Pahala Nainggolan mengatakan bahwa lembaganya pun menyadari area-area rawan tersebut. Ia mencontohkan untuk area rawan pertama yaitu barang dan jasa ditemukan bahwa setidaknya 30 persen nilai proyek habis untuk biaya di luar pengadaan sesungguhnya. Biaya sudah mulai dikeluarkan sejak masa penganggaran tahun sebelumnya.

Misalnya untuk APBD 2018 yang sudah diprogramkan sejak 2017 maka para pengusaha sudah mulai mengeluarkan uang untuk oknum pemda yang akan mengurus mata anggaran itu ke kementerian pusat dan DPR. Setelah disepakati masuk dalam anggaran maka ada proses tender yang juga perlu komisi kanan kiri. Selesai proyek, untuk mendapatkan pembayaran, pengusaha masih perlu mengeluarkan uang lagi.

Tapi apakah para kontraktor rugi? Tentu tidak karena harga barang-barang sudah ditingkatkan sebelumnya, apalagi kalau para kontraktorlah yang membuat harga perhitungan sendiri (HPS) untuk nilai proyek tertentu, sehingga nilainya dapat dinaikkan setinggi mungkin untuk memenuhi biaya komisi tersebut.

Namun bukan hanya eksekutif yang melihat "gemuknya" pendanaan APBD, DPRD pun mengetahui hal itu dan ingin "menyandera" APBD sehingga muncullah istilah "uang ketok".

"Mereka lalu beradu, kalau tidak cocok, disanderalah APBD, tidak mau tanda tangan, lalu akhirnya negosiasi, jadi semua yang lancar kemungkinan besar karena cocok akomodasi antara eksekutif dan legislatif di APBD," kata Pahala.

Di beberapa daerah seperti DPRD Jambi dan Sumatera Utara, anggota DPRD tidak mengurus setiap detail mata anggaran, yang penting ada "uang ketok" lalu dibagi-bagi. Gubernur Jambi Zumi Zola misalnya merestui pencarian Rp5 miliar untuk diberikan ke 50 orang anggota DPRD Jambi sebagai "uang ketok palu".

Selain jadi lahan bancakan eksekutif dan legislatif, APBD pun menjadi bancakan aparat penegak hukum di daerah yang dapat mengancam kepala daerah untuk bolak-balik memenuhi panggilan kejaksaan dan kepolisian karena tahu limpahan APBD di daerah.

"Kalau di Indonesia Timur, istilahnya 'duit beli duit', jadi diambil dulu dari kontraktor 10-20 persen untuk ke Jakarta, anggaran diamankan, ditender baru dibayarlah si kontraktor tapi kontraktor itu sudah bayar di depan sebelumnya," tambah Pahala.

Kerugian bagi masyarakat adalah bila mata anggaran yang disepakati dan dikerjakan oleh para kontraktor itu tidak sesuai dengan kebutuhan daerah tersebut karena "sengaja diada-adakan".

"Kalau 'mark up' walau tidak bagus tapi masih bisa dipakai, misalnya jalan dari seharusnya 20 kilometer jadi hanya 17 kilometer, tapi kalau harusnya membangun jalan jadi paket pengadaan kendaraan DPRD, aduh kasihan sekali daerah itu," ungkap Pahala.

Selanjutnya untuk bidang perizinan, KPK kembali menemukan modus yang tidak lazim. Meski banyak izin yang sudah gratis seperti SIUP, izin trayek atau akta kelahiran tapi untuk mengurus izin mendirikan bangunan (IMB) atau izin usaha perkebunan dan izin usaha pertambangan (IUP) butuh dana yang tidak sedikit.

Di salah satu provinsi Indonesia bahkan ada peraturan daerah (perda) tentang sumbangan pihak ketiga (SP3) yang mengatur tentang besaran sumbangan pihak ketiga atas pengumpulan dan atau pengeluaran hasil pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan, hasil laut, dan hasil perindustrian.

Sumbangan itu digunakan untuk mengecek lokasi tambang, mendatangkan tenaga ahli untuk melihat potensi tambang dan berbagai urusan lain terkait izin yang bahkan dibiayai oleh sang pemohon izin. Hal itu tentu sangat berpotensi melahirkan konflik kepentingan.

"Izin ini tidak ada anggarannya di APBD, jadi sulit juga mengawasi dari penggunaannya," kata Pahala.

Salah satu bupati bahkan akan rutin datang ke Jakarta untuk menghadap biro perencanaan suatu kementerian untuk dapat mengamankan alokasi anggaran untuk daerahnya.

Modus selanjutnya adalah menahan SK (surat keputusan) profesi yang berasal dari kementerian pusat oleh dinas di daerah. Misalnya bidan yang diangkat oleh Kementerian Kesehatan atau penyuluh pertanian yang diangkat oleh Kementerian Pertanian, tapi SK mereka dipegang oleh kabupaten.

Untuk dapat menebus SK tersebut maka sang bidang diminta Rp25 juta per orang, sedangkan sang penyuluh pertanian diminta uang Rp45 juta per orang sehingga akan ada uang miliaran rupiah untuk menebus SK yang sesungguhnya gratis itu.

"Ini SK saja sudah 'diduitin', ini lebih parah dari jual beli jabatan, sampai malu saya," tambah Pahala.

Tidak ketinggalan modus untuk mengakali pajak dan retribusi daerah yaitu dengan mengurangi potensi pajak daerah misalnya pajak hotel dan restoran, uang parkir, dan reklame.

Pemda tinggal membuat target pajak sebesar RpX miliar dan bila tercapai RpX,5 miliar artinya pajak tercapai tanpa tahu sebenarnya potensinya pendapatan daerah dari pajak dan retribusi daerah seperti apa. Padahal banyak para wajib pajak yang hanya membayar 1:10 besaran pajaknya karena merasa aman sudah menyetor kepada oknum yang nantinya mengumpulkan pajak itu untuk naik ke kepala daerah.

Bila modus ini terus terulang, maka tidak heran angka OTT KPK pun akan tambah besar apalagi menurut Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan, tim KPK ada di seluruh provinsi.

"Selama masih pilkada langsung, pasti semua ambil dari pengadaan, itu pasti, ada yang ketahuan dan tidak ketahuan, ada yang brutal, ada yang halus, ada yang ambil langsung ada yang lewat tangan-tangan lain, itu saja bedanya," tambah Pahala.

Lantas sebenarnya siapa yang diuntungkan dari pilkada langsung ini?