ASN Kotim tidak diberi tambahan penghasilan jika tidak melakukan ini

id Tambahan penghasilan ASN Kotim tidak dibayar,Finger print,ASN,Pemkab Kotim,Alang Arianto

ASN Kotim tidak diberi tambahan penghasilan jika tidak melakukan ini

Aparatur sipil negara Pemerintah Kabupaten Kotawaringin Timur saat mengikuti upacara di halaman kantor bupati. (Foto Antara Kalteng/Norjani)

Sampit (Antaranews Kalteng) - Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Kotawaringin Timur, Kalteng, menegaskan, presensi elektronik `finger print` atau absen sidik jari per 1 April 2018, bukan mempersulit aparatur sipil negara.

"Absen sistem sidik jari itu memang sudah seharusnya dilakukan. Daerah lain malah ada yang sudah lama memberlakukannya. Ini untuk kemudahan pengawasan dan manfaatnya juga untuk ASN itu sendiri," kata Kepala Badan Kepegawaian Daerah Kotawaringin Timur, Alang Arianto di Sampit, Kamis.

Sejak absen sidik jari diberlakukan secara ketat, muncul berbagai reaksi aparatur sipil negara. Ada yang mendukung, namun tidak sedikit yang menyampaikan pendapat berbeda dengan berbagai alasan.

Alang menegaskan, sesuai surat edaran Bupati Kotawaringin Timur pada 12 Februari 2018, pemberlakuan presensi elektronik dengan menggunakan absen pemindai sidik jari, efektif diberlakukan mulai 1 April 2018. Seluruh satuan organisasi perangkat daerah wajib menyediakan absen elektronik, termasuk di kecamatan dan sekolah.

Bagi satuan organisasi perangkat daerah yang kesulitan memberlakukan secara online, absen sidik jari bisa dilakukan secara offline. Selanjutnya, datanya disampaikan ke Badan Kepegawaian Daerah tiap minggu atau bulan.

Pemberlakuan absen sidik jari tersebut sebagai dasar penghitungan pemberian tambahan penghasilan pegawai atau TPP. Jika tidak menggunakan presensi elektronik, maka pengajuan TPP hanya dibayar 50 persen dari besaran TPP yang seharusnya diterima.

"Syarat lain untuk mendapatkan TPP itu yaitu jam kerja dalam satu minggu minimal 37,5 jam. Setiap pegawai akan mendapat TPP, sepanjang dia mengumpulkan SKP (sasaran kinerja pegawai) dan memenuhi jam minimal itu. Aturan ini untuk mendorong supaya pegawai termotivasi dan kinerjanya juga meningkat," jelas Alang.

Terkait keluhan guru yang cukup sulit memenuhi jam kerja minimal 37,5 jam dalam satu minggu karena aturan jam sekolah yang tidak memungkinkan untuk itu, apalagi jam kerja minimal dalam sertifikasi hanya 24 jam per minggu, menurut Alang, hal itu bisa disesuaikan oleh Dinas Pendidikan.

Semua kebijakan harus dipertanggungjawabkan agar tidak disalahgunakan. Mereka yang tidak mampu memenuhi jam kerja minimal, maka risikonya adalah TPP tidak dibayarkan.

Terkait keluhan insiden tidak bisa melakukan absen sidik jari saat listrik padam, Alang meminta satuan organisasi perangkat daerah bisa mencari sendiri solusinya, misalnya menyiapkan aki atau sumber daya lainnya.