Artikel - Potong pantan, kearifan lokal Suku Dayak mendeteksi dini radikalisme

id potong pantan,tradisi suku dayak,radikalisme

Artikel - Potong pantan, kearifan lokal Suku Dayak mendeteksi dini radikalisme

Suasana penyambutan tamu dengan tradisi potong pantan di Pondok Damar Kabupaten Kotawaringin Timur, Minggu (25/3/2018). (Foto Antara Kalteng/Norjani)

Sampit (Antaranews Kalteng) - Panas matahari pada suatu Minggu siang itu terasa membakar kulit, namun tidak menyurutkan ratusan warga Desa Pondok Damar Kabupaten Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah, untuk berkumpul di salah satu titik jalan utama di desa itu.
    
Warga berdesakan ingin melihat dari dekat kedatangan sekelompok orang, yang bukan orang sembarangan. Rombongan itu pun tiba, namun tertahan di depan sebuah pintu gerbang sederhana yang terbuat dari dahan dan daun kelapa, dilengkapi kayu pantan membentang menghalangi jalan sehingga rombongan tidak bisa melintas masuk ke lokasi yang hendak dituju.

Beberapa saat kemudian, terdengar suara lantang seorang tokoh adat Suku Dayak desa setempat yang menanyakan identitas, jumlah dan maksud kedatangan rombongan.

Sesaat kemudian dijawab dengan menyebut nama-nama, yang adalah pejabat daerah Kalimantan Tengah, petinggi ormas dan salah satu perusahaan besar swasta perkebunan kelapa sawit yang arealnya berbatasan langsung dengan desa itu.
    
Rombongan itu terdiri dari Gubernur H Sugianto Sabran, Kapolda Brigjen Anang Revandoko, Kolonel Arm Muhammad Naudi Nurdika yang saat itu masih menjabat Danrem 102/PanjuPanjung, Ketua Dewan Adat Dayak Kalimantan Tengah Agustiar Sabran, Wakil Bupati Kotawaringin Timur HM Taufiq Mukri, Pelaksana Tugas Bupati Seruyan Leonard S Ampung, Deputi Country Head PT Mustika Sembuluh Darwin Indigo dan pejabat lainnya.
     
Setelah mendapat jawaban yang dirasa jujur dan bisa diterima, tokoh adat tDayak itu pun menyerahkan mandau, yakni senjata tajam khas Suku Dayak kepada perwakilan rombongan.

Dengan mandau itulah, tamu atau rombongan yang datang harus memotong hingga putus kayu pantan yang menghalangi jalan agar mereka bisa masuk. Namun tentu bukan perkara mudah untuk memotong kayu hutan sebesar kaki orang dewasa tersebut, apalagi bagi yang belum terbiasa memegang mandau dan memotong kayu hutan yang keras itu.
    
Seperti yang dialami Darwin Indigo. Pengusaha muda itu terlihat cukup kesulitan saat mendapat giliran memotong kayu pantan itu. Bisa jadi itu pengalaman pertama baginya memegang mandau dan menggunakannya untuk memotong kayu pantan, apalagi di bawah panas terik.
    
Untungnya anggota rombongan saat itu cukup banyak, sehingga mereka bisa bergantian memotong pantan hingga putus. Semua anggota rombongan, tanpa terkecuali, ikut mendapat giliran memotong pantan, termasuk gubernur yang notabene pejabat tertinggi di "Bumi Tambun Bungai" ini juga harus mengikuti prosesi itu.
    
Ketika pantan putus, lahap (pekikan semangat khas Suku Dayak) pun langsung menggema di bawah komando sang tokoh adat. Lahap itu yang menggambarkan kegembiraan masyarakat lokal menerima para tamu yang datang itu sekaligus menjadi tanda diperkenankannya para tamu masuk ke desa itu.
    
Tamu kemudian diolesi bubuk putih, diberi kalungan bunga dan minuman tradisional. Semua itu menjadi gambaran kebanggaan, keramahan, ketulusan, sikap terbuka serta perlindungan masyarakat Suku Dayak dalam menerima para tamu.
    
Begitulah tradisi potong pantan yang dijalankan masyarakat yang diwariskan para leluhur Suku Dayak. Tradisi itu terus dipertahankan, khususnya di Kalimantan Tengah.
    
Dulunya, tradisi potong pantan diberlakukan terhadap setiap orang atau pendatang baru yang masuk ke Kalimantan Tengah, atau ke desa, tetapi kini tradisi tersebut lebih banyak dilaksanakan untuk penyambutan pejabat atau tamu penting yang datang ke daerah ini sebagai bentuk penghormatan.
    
Namun seperti sejak awal tradisi ini dilaksanakan, inti tujuannya tetap sama, yaitu untuk mengetahui siapa dan apa tujuan tamu tersebut datang ke daerah ini. Jika mempunyai maksud baik, maka tamu diizinkan masuk. Bahkan putusnya kayu pantan yang dipotong, diiringi doa masyarakat agar berbagai rintangan dan hal-hal buruk yang akan mengganggu tamu tersebut, akan hilang seiring putusnya kayu hutan yang keras itu.
    
Selanjutnya tamu melintasi pintu gerbang disambut kegembiraan dan diperlakukan dengan kasih sayang seperti keluarga sendiri. Perumpamaan tamu adalah raja, berlaku dalam tradisi ini. Masyarakat lokal menerima dengan baik tanpa melihat perbedaan latar belakang dengan tamu tersebut.
    
Sebaliknya, jika tamu yang datang memiliki maksud tidak baik, kayu pantan dan para tokoh adat serta masyarakat yang berdiri di balik kayu pantan itu, menjadi simbol tegas yang akan siap menghadang masuknya orang yang berniat jahat.
    
"Filosofi tradisi ini sangat dalam. Jadi, sejak dulu masyarakat Suku Dayak sudah memiliki sistem kearifan lokal dalam menangkal masuknya orang atau pengaruh buruk dari luar. Filosofi tradisi ini bahkan sangat tepat hingga saat ini, ketika kita dan bangsa ini gencar menangkal masuknya kelompok dan paham radikal yang bisa merusak persatuan dan kerukunan masyarakat," kata Ketua Harian Dewan Adat Dayak Kabupaten Kotawaringin Timur, Untung di Sampit, Rabu.
    
Saat prosesi potong pantan, terjadi tanya jawab antara tokoh adat pemimpin acara dan tamu yang datang. Setelah menjawab dengan menjelaskan identitas dan tujuan kedatangannya sehingga dapat dimaklumi masyarakat, barulah tamu tersebut diizinkan memotong kayu pantan itu hingga putus.
    
Prosesi tanya jawab itu, kata Untung, tidak ubahnya ibarat pernyataan komitmen, ikrar atau pakta integritas dari seorang tamu tentang tujuan kedatangannya. Jika tamu tersebut melanggar apa yang diucapkannya sendiri, maka dia harus siap menerima sanksi tegas yang didasarkan pada hukum positif maupun hukum adat yang berlaku di tengah masyarakat setempat.
    
Untung menegaskan, masyarakat Suku Dayak cinta damai dan sangat menghargai tamu atau masyarakat pendatang. Masyarakat Suku Dayak sangat menjunjung tinggi persatuan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. 

Tumbang Anoi
    
Berdasarkan catatan sejarah, peperangan di tanah Dayak diakhiri dengan lahirnya kesepakatan Tumbang Anoi. Tumbang Anoi adalah sebuah desa di Kecamatan Damang Batu Kabupaten Gunung Mas yang terletak sekitar 300 kilometer arah utara Palangka Raya, Ibu Kota Kalimantan Tengah.
    
Di tempat itulah digelar Rapat Damai Suku Dayak pada tanggal 22 Mei sampai 24 Juli 1894. Ada sekitar 1.000 orang yang hadir, yakni berasal dari 152 suku Dayak yang ada di Pulau Kalimantan, meliputi wilayah Indonesia, Malaysia dan Brunei Darussalam.
    
Kesepakatan penting yang dihasilkan di antaranya mengakhiri pertikaian sesama suku Dayak dan menghentikan tradisi “mengayau” atau memenggal kepala manusia atau musuh. Perjanjian itu menjadi ikrar persatuan dan persaudaraan antar suku-suku Dayak yang dulunya saling bermusuhan satu sama lain. 
    
Masyarakat Suku Dayak juga sangat menghargai suku-suku lain  yang ingin tinggal di daerah ini. Tentunya dengan berpegang pada peribahasa "di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung." Yakni, siapapun harus menghormati adat dan norma yang dijalankan masyarakat Suku Dayak.
    
Sikap ramah, terbuka dan toleransi tinggi itu ditunjukkan sejak dulu oleh leluhur Suku Dayak, di antaranya dibuktikan dengan keberadaan ”huma betang” yang merupakan rumah khas Suku Dayak. Rumah panggung berukuran besar terdiri dari banyak kamar serta ruangan besar untuk tempat berkumpul dan menggelar berbagai acara.
    
Masyarakat dengan tangan terbuka berbagi tempat tinggal dengan siapapun. Tidak heran jika sebuah rumah betang bisa dihuni beberapa kepala keluarga, bahkan dengan berbagai perbedaan suku dan agama. Mereka hidup rukun, damai, saling toleransi dan saling membantu.
    
Sejak dulu, masyarakat Suku Dayak menganggap perbedaan suku, agama, ras maupun golongan adalah hal lumrah yang tidak perlu dipermasalahkan. Anggota keluarga berbeda keyakinan namun tetap tinggal bersama rukun dalam satu rumah, bukan hal aneh. Bahkan di Kotawaringin Timur, yakni di Kecamatan Antang Kalang, terdapat empat rumah ibadah agama berbeda berdampingan di satu lokasi yang sama, yaitu dua gereja, satu masjid dan satu balai basarah tempat ibadah umat Hindu Kaharingan.
    
Semua saling menghargai ketika di antara mereka sedang menjalankan ibadah maupun merayakan hari besar keagamaan masing-masing. Semua mengedepankan kebersamaan, kekeluargaan dan toleransi. 
    
Kerukunan itulah yang ingin terus dipertahankan masyarakat. Konflik etnis yang pernah terjadi tahun 2001 silam jangan sampai terulang karena merugikan semua pihak. Persatuan dan kesatuan harus diperkuat agar gangguan yang datang dari mana pun bisa cepat diatasi bersama.
    
Saat terjadi serangkaian aksi bom bunuh diri di Surabaya pada 13 Mei 2018 lalu, segenap elemen masyarakat Kotawaringin Timur langsung bereaksi. Malam harinya, ratusan umat Islam di Sampit menggelar doa bersama untuk korban ledakan bom.
    
"Kami umat Islam di Sampit dengan tulus mendoakan warga yang menjadi korban ledakan bom di gereja di Surabaya, baik yang meninggal maupun korban luka. Kami mengutuk aksi teroris tersebut. Ini tragedi kemanusiaan," kata ustad Ahmad Rayyan Zihdi Abrar yang memimpin doa di halaman Masjid Nurul Iman di Jalan Pelita Sampit. 
    
Doa bersama ini dilakukan sebelum pawai obor puncak acara tarhib menyambut bulan suci Ramadhan 1439 Hijriah yang diikuti sekitar 500 peserta, serta dihadiri Kapolres Kotawaringin Timur AKBP Mohammad Rommel dan sejumlah perwiranya, anggota DPRD Kotawaringin Timur Dadang H Syamsu dan sejumlah tokoh agama.
    
Suasana haru terasa ketika ustad Rayyan membacakan doa. Peserta tampak khusyuk memanjatkan doa para korban, tanpa melihat perbedaan agama dengan para korban yang mereka doakan. Rayyan menyebut aksi teroris itu merupakan tindakan orang sesat dan tidak bisa dikaitkan dengan agama manapun karena agama tidak mengajarkan kekejaman. Dia mengajak umat Islam dan umat agama lain bersatu dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. 
    
Rabu (16/5), Pemerintah Kabupaten Kotawaringin Timur menggelar apel siaga melibatkan TNI, Polri, tokoh lintas agama dan elemen lainnya. Acara diisi pembacaan ikrar sekaligus deklarasi oleh tokoh perwakilan seluruh agama. Deklarasi yang dibuat bertepatan saat bulan suci Ramadhan 1439 Hijriah itu memuat pesan penting yakni seluruh umat bersatu tanpa mempermasalahkan perbedaan agama, saling toleransi dan menghargai perbedaan, serta bersama-sama menolak dan mencegah masuknya radikalisme ke Kotawaringin Timur.
    
"Deklarasi damai itu bukan karena ada masalah antaragama, tetapi justru sebagai wujud kebersamaan untuk bersama-sama menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat dan melawan radikalisme," tegas Bupati H Supian Hadi.
    
Langkah itu juga diikuti oleh kaum muda lintas agama yang menggelar deklarasi kebangsaan pada Minggu (20/5). Perwakilan dari pemuda Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu Kaharingan dan Budha, berbaur tanpa melihat perbedaan agama dan secara bergantian membacakan doa sesuai agama masing-masing. Kebersamaan makin terasa ketika mereka bersama membagikan takjil atau makanan berbuka puasa kepada pengguna jalan.
    
Supian menegaskan, situasi Kotawaringin Timur saat ini aman dan kondusif. Untuk deteksi dini, dia memerintahkan agar sistem keamanan lingkungan atau Siskamling kembali diaktifkan di seluruh wilayah. Seluruh camat, lurah, kepala desa, ketua RW dan ketua RT diperintahkan mendata kembali seluruh warganya, terlebih kepada pendatang, sebagai bentuk pengawasan dan pencegahan hal yang tidak diinginkan.
    
Sekali lagi, upaya pencegahan dan deteksi dini ini sejalan dengan filosofi tradisi potong pantan yang dijalankan sejak dulu oleh leluhur Suku Dayak. Tradisi potong pantan menjadi momen penyaringan, identifikasi, pengawasan dan pencegahan terhadap orang, kelompok maupun paham radikalisme yang bisa mengganggu kedamaian masyarakat. Tradisi potong pantan juga bermakna penghormatan dan perlindungan bagi tamu yang datang ke daerah ini.
    
Masyarakat Suku Dayak sangat mencintai kehidupan yang rukun dan damai dengan masyarakat dari mana pun. Perbedaan jangan sampai dijadikan permasalahan dan jangan sampai dijadikan alat bagi pihak lain merusak keharmonisan yang selama ini sudah sudah tercipta di masyarakat.