Pengusaha dan petani rotan kecewa pemerintah tidak peduli

id Pengusaha dan petani rotan kecewa pemerintah tidak peduli,Larangan ekspor,Aspero,Dadang H Syamsu

Pengusaha dan petani rotan kecewa pemerintah tidak peduli

Usaha rotan milik Dahlan Ismail di Kecamatan Kotabesi tak seramai dulu karena jumlah pekerjanya berkurang imbas anjloknya sektor ini setelah pemerintah melarang ekspor rotan mentah. (Istimewa)

Sampit (Antaranews Kalteng) - Pengusaha dan petani rotan di Kabupaten Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah, kecewa karena merasa pemerintah sama sekali tidak mempedulikan nasib mereka yang makin sulit pascalarangan ekspor rotan mentah sejak 2011.

"Kami merasa pemerintah pusat sangat tidak peduli. Sejak pemberlakuan kebijakan larangan ekspor rotan pada akhir 2011 kami sudah menyampaikan aspirasi, tapi sampai sekarang belum ada solusi, sementara masyarakat makin menderita karena permintaan anjlok," kata Ketua Asosiasi Pengusaha dan Petani Rotan (Aspero) Kotawaringin Timur, Dadang H Syamsu di Sampit, Rabu.

Pria yang juga anggota Komisi III DPRD Kotawaringin Timur ini mengaku banyak menerima keluh-kesah masyarakat tentang makin terpuruknya sektor rotan. Hampir setiap kunjungan kerja di daerah pemilihannya di Kecamatan Baamang dan Seranau yang merupakan sentra penghasil rotan, masyarakat terus menyampaikan aspirasi dan harapan agar pemerintah memberi solusi.

Sejak akhir 2011, pemerintah pusat melarang ekspor rotan mentah. Kebijakan itu dituangkan dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 35 Tahun 2011 tentang Ketentuan Ekspor Rotan dan Produk Rotan.

Kebijakan itu seketika membuat sektor rotan di Kalimantan Tengah terpuruk, khususnya di Kotawaringin Timur yang merupakan daerah penghasil rotan. Saat itu pemerintah berjanji memberi solusi dengan memberlakukan sistem resi gudang untuk menyerap hasil panen dan membantu permodalan, namun hingga saat ini janji itu tidak pernah terwujud.

Dadang menegaskan, rotan Kotawaringin Timur merupakan hasil budidaya sehingga kelangsungannya terjaga dan pemanfaatannya mengusung kearifan lokal yang mengutamakan kelestarian.

Dadang menyebutkan, saat ini jumlah petani rotan yang tersisa hanya sekitar 4.000 orang yang tersebar di Kecamatan Mentaya Hilir Utara, Mentawa Baru Ketapang, Baamang, Seranau, Kotabesi dan Cempaga.

Sisanya ada yang membabat rotan mereka dan menggantinya dengan tanaman buah, sayur dan kelapa sawit, namun ada pula yang hanya membiarkan kebun rotannya tidak terurus karena pertimbangan biaya produksi lebih tinggi dibanding harga jual saat ini.

"Rasanya mau menangis melihatnya. Mereka berangkat ke kebun rotan pukul 05.00 subuh dan baru pulang sekitar pukul 05.00 sore. Hasilnya paling banyak Rp60.000. Itu belum dipotong biaya bahan bakar kalau yang kebunnya jauh dari rumah, sementara harga sembako tinggi," kata Dadang.

Dadang berharap pemerintah pusat tidak tutup mata dengan fakta ini. Pemerintah diharapkan membuka kembali keran ekspor agar masyarakat bisa kembali memperbaiki tingkat kesejahteraan mereka.

Dahlan Ismail, salah satu pengusaha rotan di Kecamatan Kotabesi mengatakan, permintaan rotan jauh menurun. Pengusaha sudah berupaya menjalin relasi ke sejumlah daerah seperti Banjarmasin, Pontianak, maupun di Pulau Jawa dan Bali, namun permintaan tetap sepi.

"Kalau keran ekspor dibuka, tentunya sangat menguntungkan negara dan rakyat. Apalagi saat ini nilai tukar rupiah tembus Rp15.000 per dolar, maka akan sangat menguntungkan," kata Dahlan yang sejak dulu getol memprotes larangan ekspor rotan.

Saat ini harga rotan di tingkat petani Rp2.600 per kilogram. Namun sejak larangan ekspor rotan diberlakukan, permintaan turun drastis. Saat ini permintaan hanya sekitar 30 persen dibanding saat ekpor rotan mentah masih diperbolehkan.