Nasionalisme klasik tergerus adanya internet

id nasionalisme klasik,internet,tergerus,Nasionalisme klasik tergerus adanya internet

Nasionalisme klasik tergerus adanya internet

Ilustrasi (REUTERS/Catherine Benson)

Jakarta (Antaranews Kalteng) - Peneliti Puslit Kemasyarakatan dan Kebudayaan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Ibnu Nadzir mengatakan internet telah menggerus nasionalisme klasik serta mengubah bentuk nasionalisme itu.

"Perkembangan teknologi informasi menggerus nasionalisme klasik, nasionalisme tidak lagi dibatasi dengan batas-batas negara tapi sekarang nasionalisme tidak lagi mengenal batas," ujar Ibnu dalam diskusi di Jakarta, Rabu.

Ke depan, nasionalisme tidak lagi mengenal batas dan seseorang akan merasa Indonesia tanpa harus tinggal dan lahir di negara itu. Kondisi itu tentu saja mengagetkan, terutama bagi generasi sebelumnya yang menganggap bahwa nasionalisme yang diwujudkan dalam kecintaan pada identitas lokal.

Ibnu sendiri mengaku belum tahu, bentuk nasionalisme ke depan seperti apa. Dia memberi contoh warga negara Korea yang tetap mencintai negaranya serta produk-produk dari negaranya dimanapun berada.

"Untuk generasi milenial, perlu diperkuat pelajaran mengenai sejarah. Bagaimana Indonesia terbentuk. Namun yang diajarkan bukan hapalan, tapi bagaimana gagasan dari para pendiri bangsa ini," kata dia.

Hasil penelitian Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan LIPI yang dilakukan dalam kurun waktu 2015 sampai 2018 memperlihatkan kehadiran teknologi informasi dan komunikasi memang memungkinkan terciptanya ruang publik baru, namun kemampuan untuk menjangkaunya masih terbatas pada kelas sosial tertentu. 

Ketua Kelompok Peneliti Kebudayaan dan Multikulturalisme LIPI, Thung Ju Lan, mengatakan teknologi informasi dan komunikasi memungkinkan perubahan struktur yang ada di masyarakat, seperti inovasi percepatan mata rantai ekonomi maupun kemudahan dan kebebasan berekspresi. 

"Komunitas-komunitas online lebih mendasarkan pada ikatan-ikatan primordialisme baik etnisitas maupun agama daripada mendiskusikan nasionalisme," kata Thung. 

Media sosial, lanjut Thung, seolah-olah membagi masyarakat dalam kotak-kotak yang acapkali memberikan ruang untuk saling menyebarkan kebencian.