Nasib guru honorer pedalaman Kotim memilukan

id Nasib guru honorer pedalaman Kotim memilukan,Dinas Pendidikan,Suparmadi,Guru,Honorer,Sampit

Nasib guru honorer pedalaman Kotim memilukan

Murid dan tenaga pendidik SMP Negeri 3 Antang Kalang tetap ceria meski harus menjalani proses belajar dan mengajar dengan fasilitas yang serba kekurangan. (Foto Istimewa)

Sampit (Antaranews Kalteng) - Pemerintah Kabupaten Kotawaringin Timur Kalimantan Tengah, harus lebih memerhatikan guru honorer yang kini nasib dan kesejahteraannya masih memprihatinkan, padahal mereka sudah bersedia mengabdi di kawasan pedalaman dengan kondisi yang serba sangat terbatas.

"Kemarin sempat mengajukan proposal minta bantuan untuk tambahan gaji karena ada perusahaan kayu, tapi tidak ditanggapi. Dengan gaji Rp500 ribu per bulan, sangat susah untuk bertahan hidup karena harga barang mahal. Gas elpiji 3 kilogram saja Rp85 ribu per tabung," kata Andrea Irawan saat dihubungi dari Sampit, Senin.

Andrea Irawan adalah seorang guru honorer di SMPN 3 Antang Kalang. Sekolah ini terletak di Desa Tumbang Hejan Kecamatan Antang Kalang, dekat perbatasan Kabupaten Katingan.

Sudah hampir tiga tahun pria asal Bagendang itu memutuskan meninggalkan hiruk-pikuk kota dan memilih mengabdi sebagai guru di wilayah yang masih terisolasi jalan darat. Dia pun memboyong keluarganya ke tempat tugasnya tersebut.

Diperlukan waktu tempuh sekitar 14 jam dari Sampit Ibu Kota Kabupaten Kotawaringin Timur untuk mencapai sekolah tersebut. Dari Sampit harus menempuh perjalanan darat sekitar tujuh jam mencapai kecamatan itu dengan biaya Rp200 ribu per penumpang, kemudian dilanjutkan perjalanan menggunakan transportasi sungai selama tujuh jam dengan biaya sewa kelotok atau perahu sekitar Rp3 juta sekali jalan.

Andrea mengaku hanya digaji Rp500 ribu per bulan yang dialokasikan melalui bantuan operasional sekolah (BOS). Gaji itu sangat jauh di bawah standar upah minimun kabupaten (UMK) Kotawaringin Timur yang saat ini sudah Rp2.757.300 per bulan.

Penghasilan yang sangat kecil itu membuat sangat sulit bagi Andrea dan rekan-rekannya untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, apalagi jika berpikir ingin hidup bermewah-mewah. Untuk pergi ke ibu kota kecamatan saja, gaji itu tidak cukup untuk biaya transportasi. 

Untuk memenuhi kebutuhan dapur, mereka terkadang mencari ikan dan sayur yang masih mudah didapat di desa itu. Kondisi itulah yang diduga membuat tidak ada orang yang berminat menjadi guru di sekolah itu. 

Sekolah yang dibangun pada 2008 lalu atas kerjasama pemerintah Indonesia dan Australia itu hanya memiliki lima orang tenaga pendidik, terdiri satu orang berstatus pegawai negeri sipil (PNS) yaitu sang kepala sekolah, satu orang berstatus tenaga kontrak dan tiga orang honorer, termasuk Andrea. Mereka pun harus mengajar banyak mata pelajaran, termasuk kepala sekolah juga ikut mengajar.

Latar belakang guru yaitu SMA dan Diploma I karena hanya mereka yang mau mengabdikan diri dengan kondisi yang serba terbatas tersebut. Mereka masih bertahan karena panggilan jiwa dan merasa kasihan dengan nasib pendidikan anak-anak di wilayah itu.

"Kami juga ingin kuliah, hanya saja kami tidak mampu karena biaya perjalanan yang sangat mahal, belum lagi biaya kuliahnya. Kami hanya bisa berharap dengan semua itu. Besar harapan kami suatu saat mendapat perhatian pemerintah daerah agar diangkat menjadi tenaga kontrak daerah agar bisa menunjang kelancaran proses pendidikan di sini," harap Andrea.

Fasilitas yang dimiliki sekolah ini sangat terbatas. Jangankan berpikir memiliki komputer, laptop atau gadget, listrik pun belum ada. Bahkan, banyak anak-anak di desa itu yang belum pernah menginjakkan kaki di desa lain, apalagi ke Sampit ibu kota kabupaten.

Jika ingin berkomunikasi menggunakan telepon seluler, warga harus berjalan ke atas bukit yang tinggi yang bisa terjangkau signal. Itu pun terkadang tidak lancar seperti yang diharapkan.

Andrea mengaku sudah bertekad mengabdi dan berusaha membantu anak-anak di desa yang terisolasi itu untuk mendapatkan pendidikan, meski dengan berbagai kekurangan. Dia berharap kondisi fasilitas pendidikan, anak didik serta nasib para guru di sekolah itu, menjadi perhatian pemerintah pusat dan daerah.

"Meski dengan segala keterbatasan pendidikan, kami akan mewujudkan mimpi anak-anak untuk memajukan Kotawaringin Timur. Meskipun dengan pengetahuan kami yang terbatas, kami tidak pernah lelah memberi semangat kepada mereka. Kami tidak ingin generasi penerus Kotawaringin Timur kami jadi kuli di daerahnya sendiri," ujar Andrea.

Kepala Dinas Pendidikan Kotawaringin Timur Suparmadi mengatakan, masalah ini menjadi perhatian pemerintah daerah. Upaya peningkatan kesejahteraan guru honorer sudah masuk dalam program Dinas Pendidikan dan dilaksanakan bertahap.

"Menyesuaikan dengan ketersediaan anggaran. Rencananya bukan honorer sekolah di pedalaman saja, tetapi juga semua honorer sekolah yang dibiayai dari dana BOS. Dan yang sekarang dapat tunjangan khusus adalah mereka yang bertugas di daeah sangat terpencil," demikian Suparmadi.