Membangun budaya literasi dari keluarga

id budaya literasi,Membangun budaya literasi dari keluarga,Dari Rumah ke Sekolah dan Masyarakat

Membangun budaya literasi dari keluarga

Saiful Rohman, S.Pd. (Foto:Istimewa)

Palangka Raya (ANTARA) - Keluarga adalah tempat mengukir karakter anak. Sebelum bersinggungan dengan manusia lainnya, seorang anak akan bersinggungan dengan anggota keluarga yang ada di rumahnya terlebih dahulu. Sehingga, perilaku dan kemajuan anak di komunitas berikutnya (sekolah dan masyarakat) sangat dipengaruhi oleh kebiasaan yang berlangsung di rumah.

Sulitnya membangun budaya literasi di sekolah dan masyarakat sebenarnya berpangkal dari rumah. Budaya literasi di rumah merupakan faktor utama yang mempengaruhi kemajuan budaya literasi di sekolah dan masyarakat. Idealnya, anak mendapat bekal budaya literasi  dari rumah. Selanjutnya, bekal tersebut dibawa ke sekolah dan masyarakat. Namun, kenyataan yang terjadi justru sebaliknya. Budaya literasi berawal dari sekolah. Selanjutnya, diharapkan berkembang di rumah dan masyarakat. Padahal, sekolah bukan tempat pendidikan pertama dan paling utama.

Budaya literasi identik dengan membaca buku. Memiliki anak yang suka membaca buku merupakan idaman setiap orang tua. Namun, tidak banyak orang tua yang menjadikan budaya membaca buku sebagai program prioritas di rumah. Sebagian orang tua beranggapan, membaca buku  bukan kebutuhan mendasar. Akhirnya, budaya membaca buku di rumah menjadi sebuah aktivitas yang tidak lazim ditemui.

Budaya Membaca: Internet dan Buku

Kini, budaya membaca buku di rumah tergeser oleh kegiatan membaca melalui perangkat teknologi modern. Penghuni rumah lebih nyaman membaca dengan memanfaatkan paket data internet melalui gawai dan komputer daripada buku. Apalagi, keluarga yang tinggal di daerah pedalaman seperti tempat tinggal penulis (Pedalaman Kalimantan Tengah).

Penduduk pedalaman Kalimantan Tengah kesulitan menemukan buku untuk dibaca. Perpustakaan umum dan toko buku jauh dari rumah mereka. Membutuhkan waktu sekitar enam jam perjalanan air untuk berkunjung ke perpustakaan dan toko buku. Sementara, buku koleksi di perpustakaan desa jumlahnya sangat terbatas dan jarang diperbaharui.

Dalam pengamatan penulis, masyarakat di pedalaman Kalimantan Tengah terlihat sangat tekun membaca dan menulis. Namun, mereka membaca dan menulis dalam obrolan whats ap dan linimasa facebook. Aktivitas tersebut dapat dipantau dalam aktivitas group whats ap dan pertemanan facebook. Mereka mampu beraktivitas menikmati whats ap dan facebook  dalam waktu yang relatif lama secara terus menerus.

Aktivitas era millennial tersebut mampu mengubah ritme kehidupan masyarakat di lingkungan penulis. Sebelumnya, orang tua yang mayoritas bekerja sebagai petani, setiap pukul tujuh pagi sudah berada di ladang untuk bekerja. Setelah kehadiran smart phone, aktivitas tersebut tertunda sekitar tiga puluh menit atau lebih.

Hal yang sama terjadi pada anak usia sekolah. Aktivitas pertama setelah bangun tidur tidak lagi mandi dan bersiap diri untuk sekolah. Mereka mengikuti jejak orang tua, membuka smarth phone dan membaca obrolan yang terlewati karena tidur malam.

Kehadiran smart phone  memang dapat menjadi alternatif pengganti buku. Utamanya, bagi keluarga yang tinggal di pedalaman. Namun, membaca langsung dari buku tetap lebih utama. Kehadiran buku tetap dibutuhkan sebagai sarana literasi. Tulisan dalam buku memiliki makna yang mendalam, terperinci, dan melahirkan kontruksi pemahaman yang utuh.

Membaca dengan buku sangat berbeda dengan membaca melalui internet. Seringkali, obrolan dalam whats ap, linimasa facebook, dan penelusuran melalui aplikasi pencarian semacam google berisi informasi yang dangkal. Informasi tersebut sangat berbahaya jika tidak diklarifikasi dengan sumber yang lain. Apalagi, pembacanya bersikap reaktif terhadap informasi internet yang belum tentu benar.

Realitas tersebut sangat menakutkan bagi pengguna internet yang minim bekal literasi. Seringkali, bacaan yang ditawarkan internet menjauhkan pembacanya dari pengetahuan, kecerdasan, dan kebijaksanaan. Hal ini terlihat dalam momentum politik (Pemilu serentak) beberapa waktu yang lalu. Bacaan bernilai pembelahan masyarakat muncul dengan sangat masif dalam rangkaian kalimat yang berisi fitnah dan informasi yang tidak benar.

Rekayasa sosial “membaca buku berbasis keluarga di rumah” perlu disemarakkan. Segenap anggota keluarga harus dikondisikan dan diberdayakan untuk menjadikan kegiatan membaca buku sebagai aktivitas yang terprogram, terencana, dan terukur. Kegiatan membaca buku harus dianggap sebagai kebutuhan mendasar. Kegiatan tersebut bermanfaat sebagai lokomotif lahirnya kemajuan literasi di sekolah dan masyarakat.

Membaca buku harus dianggap sebagai kebutuhan seluruh anggota keluarga, bukan hanya kewajiban anak. Orang tua harus pro-aktif mengajak anak membaca buku di rumah. Orang tua dapat menjadi inspirator dan fasilitator. Orang tua memberikan inspirasi dalam bentuk keteladanan membaca buku bersama anak. Selain itu, orang tua juga memfasilitasi bahan bacaan untuk anggota keluarganya di rumah.

Penduduk yang tinggal di desa daerah pedalaman harus bermusyawarah membicarakan ketersediaan bahan bacaan di lingkungan mereka. Keberadaan perpustakaan  desa di daerah pedalaman perlu mendapat perhatian. Masyarakat  pedalaman harus bergotong royong menyediakan bahan bacaan untuk mereka dan anak – anak mereka.

Membaca Buku di Lingkungan Keluarga

Aktivitas membaca buku dalam lingkungan keluarga sangat penting. Aktivitas semacam ini bisa dimulai saat pertama kali bahtera rumah tangga berlayar. Sepasang suami istri dapat menentukan waktu dan tempat untuk aktivitas membaca buku bersama.

Waktu yang paling tepat dan ideal adalah antara maghrib sampai dengan isya’ dan setelah sholat subuh. Mengingat, dua kesempatan  tersebut umumnya merupakan waktu luang. Segala hal yang mengganggu aktivitas membaca harus ditiadakan, misalnya mematikan TV dan Smarth phone di jam tersebut.

Setelah memiliki anak balita, aktivitas tersebut harus dikuatkan dengan beragam sentuhan kreasi dan inovasi. Misalnya, bacakan buku cerita pada anak yang belum bisa membaca dengan merangkul dan memeluk mereka. Hal semacam ini merupakan langkah potensial menanamkan pada diri anak budaya membaca buku sejak dini.

Ketika anak sudah bisa membaca, dampingi anak membaca buku. Setelah itu, ajaklah mereka duduk bersama, sambil berbincang ringan. Tanyakanlah beberapa hal sambil bercanda dan berdiskusi singkat tentang buku yang sudah dibaca anak.  Hal ini akan memotivasi anak  untuk mencari informasi  baru dan mulai melirik buku yang lain.

Penulis pernah merasakan pengalaman yang menarik ketika berkunjung ke rumah tetangga. Tetangga membacakan buku cerita kepada anaknya yang masih sekolah di PAUD dan kelas satu sekolah dasar. Kegiatan membaca buku cerita didesain seperti menonton film. Orang tua memberikan remote TV kepada anak mereka. Remote tersebut bukan digunakan untuk mengoperasikan TV, melainkan untuk mengatur ritme ketika membaca buku cerita. Anak berhak untuk menekan tombol start, mengecilkan dan membesarkan volume, dan menombol pause serta menekan tombol off. Ketika anak menekan tombol pengurangan volume suara, maka orang tua wajib mengurangi volume suaranya dalam membaca buku cerita. Tentunya, aktivitas ini diawali dengan beberapa kesepakatan yang positif untuk kegiatan literasi anak.

Tujuan dari kegiatan diatas adalah untuk meningkatkan minat baca anak. Ratnasari (2016) mengatakan bahwa minat baca adalah suatu perhatian yang kuat dan mendalam disertai dengan perasaan senang terhadap kegiatan membaca, sehingga dapat mengarahkan seseorang untuk membaca dengan kemauannya sendiri. Aspek minat baca meliputi kegemaran membaca, seberapa seringnya membaca, dan kesadaran akan manfaat membaca.

Setelah terbiasa membaca dan tertanam minat membaca buku, barulah anak diarahkan untuk memanfaatkan tekhnologi sebagai salahsatu sumber bacaan alternatif. Kegiatan membaca melalui teknologi harus dengan pendampingan, pengawasan, dan arahan yang berkelanjutan dari orang tua.

Orang tua harus bekerja keras untuk mewujudkan budaya literasi keluarga di rumah mereka. Minat baca tidak di dapat melalui proses yang instan. Kebiasaan membaca buku tidak di dapat dalam satu hari, satu minggu, satu bulan, bahkan mungkin dalam satu tahun sekalipun. Melainkan, membutuhkan waktu yang panjang dengan usaha yang terus menerus.

Dari Rumah ke Sekolah dan Masyarakat
Budaya literasi yang sudah terbangun di rumah harus diperluas. Setiap keluarga yang sukses menerapkan budaya literasi di rumahnya harus menularkan virus positif literasi kepada lingkungan terdekatnya, misalnya rukun tetangga dan sekolah tempat anak mereka belajar. Ketika rukun tetangga sukses menerapkan budaya literasi, langkah selanjutnya adalah menularkan semarak lierasi ke lingkungan rukun warga, demikian seterusnya. Dukungan pemerintah dan tokoh masyarakat setempat sangat penting dalam proses memperluas keberhasilan budaya literasi. Akhirnya, buramnya prestasi Indonesia dalam hal minat membaca buku dapat teratasi dengan rangkaian langkah membangun literasi diatas.

Perlu diketahui bahwa indeks tingkat membaca orang Indonesia diangka 0,001. Artinya, hanya 1 orang dari 1000 penduduk yang meluangkan waktunya untuk membaca buku. Fenomena ini membawa Indonesia menempati peringkat ke 60 dari 61 negara yang dinilai dalam survey “bangsa melek literasi” oleh Connecticut State university tahun 2016.  Bahkan, Indonesia kalah dengan Thailand (59) dan hanya menang atas Bostwana (61).

*Penulis adalah Nominator Lomba Jurnalistik Sahabat Keluarga Kemendikbud Tahun 2018