Patuhi protokol kesehatan yang ketat dalam pilkada serentak

id Muhammad Rullyandi,Patuhi protokol kesehatan yang ketat dalam pilkada serentak,pilkada serentak,protokol kesehatan

Patuhi protokol kesehatan yang ketat dalam pilkada serentak

Pakar Hukum Tata Negara, Muhammad Rullyandi. (Istimewa)

Jakarta (ANTARA) - Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Pancasila Muhammad Rullyandi berpendapat pelaksanaan pilkada serentak di tengah pandemi COVID-19 bisa dilakukan dengan protokol kesehatan yang ketat.

"Korea Selatan, adalah negara yang berhasil menggelar pemilihan di tengah pandemi. Jika mencontoh Korea, Indonesia pun bisa," kata Rullyandi dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Selasa, menanggapi pernyataan mantan Dirjen Otda Kemendagri Djohermansyah Djohan yang menyebut pelaksanaan pilkada serentak tahun 2020 di masa pandemi, telah menabrak tiga asas pemilu.

Menurut, Rullyandi, pandangan Djohermansyah yang juga Guru Besar IPDN dinilai absurd dan lebih berdasarkan subyektivitas pribadi.

Bencana wabah pandemi non alam seperti COVID-19 dapat diantisipasi dengan protokol kesehatan yang ketat. Tentunya, protokol kesehatan itu harus tersosialisasi dengan baik serta terimplementasi dengan baik pula.

"Saya pikir pendapat itu, sah-sah saja, tetapi bersifat subyektif. Perlu dipahami, keputusan persetujuan bersama Pemerintah, DPR, dan KPU untuk menyelenggarakan pilkada 9 desember 2020 secara menyeluruh adalah langkah yang konstitusional dan proporsional dengan mempertimbangan keamanan protokol kesehatan COVID-19," ujarnya.

Menurut dia, Profesor Djohermansyah memang pernah menjadi Dirjen Otda, tetapi dalam masa keadaan normal. Sehingga tidak memiliki pengalaman yang cukup menghadapi kondisi saat ini untuk menyelenggarakan pilkada serentak di 270 daerah.

Pelaksanaan pilkada serentak dengan protokol kesehatan itu sendiri, kata dia, untuk menyelematkan keberlangsungan demokrasi di Indonesia.

"Situasi yang tidak normal saat ini dan ditengah ketidakpastian kapan berakhirnya pandemi COVID-19 membuat pemerintah, DPR dan KPU memutuskan menyelamatkan keberlangsungan demokrasi dengan komitmen yang tinggi," katanya.

Terkait kritikan Djohermansyah itu, Rullyandi berpendapat, perlu diuji rasio konstitusionalitasnya. Keseluruhan pandangan mantan Dirjen Otda itu harus dihubungkan dengan gagasan negara hukum yang demokratis.

Jika pilkada itu gagal, justru berpotensi melahirkan suatu problem konstitusional yang berdampak luas dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.

Problem konstitusional tersebut, kata dia, disebabkan karena tidak sejalannya dengan kaedah prinsip negara hukum yang memenuhi aspek jaminan perlindungan kepastian hukum yang adil dengan pemenuhan hak konstitusional memilih dan dipilih sebagai amanah konstitusi untuk menghindari potensi ketidakpastian kekosongan jabatan yang berkepanjangan.

Dia menjelaskan, keputusan melanjutkan tahapan pilkada serentak sudah sesuai dengan pedoman garis besar rambu-rambu konstitusional yang telah memberikan amanah bagi penyelenggaraan negara termasuk di dalamnya proses pengisian jabatan kepala daerah dalam rezim demokrasi lokal. Pelaksanaan pilkada di tengah pandemi telah mempertimbangkan berbagai alasan subjektif dan alasan objektif.

"Pilkada di saat pandemi ini sebagai ukuran keseriusan pemerintah dan kesiapan penyelenggara pemilu, baik itu KPU dan Bawaslu menegakan prinsip-prinsip nilai demokrasi meskipun situasi saat ini negara kita belum pernah terjadi keadaan pandemi sejak tahun 1945 Indonesia merdeka," katanya.

Oleh karena itu, tambah Rullyandi, jika pandemi itu kemudian menghambat keberlangsungan demokrasi di Indonesia, ini justru akan jadi problem.