KPK tahan Hong Artha tersangka korupsi proyek di Kementerian PUPR

id KPK,KPK tahan Hong Artha ,Hong Artha ,KPK tahan Hong Artha tersangka korupsi proyek di Kementerian PUPR

KPK tahan Hong Artha tersangka korupsi proyek di Kementerian PUPR

Tersangka Direktur dan Komisaris PT Sharleen Raya, Hong Arta John Alfred (tengah) mengenakan rompi tahanan KPK usai menjalani pemeriksaan di Gedung KPK, Jakarta, Senin (27/7/2020). KPK menetapkan Hong Arta sebagai tersangka baru dalam pengembangan penyidikan kasus dugaan suap pengerjaan proyek infrastruktur di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) tahun anggaran 2016 yang sebelumnya telah menyeret 11 orang tersangka, salah satunya mantan Bupati Halmahera Timur Rudy Erawan. ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso/aww.

Jakarta (ANTARA) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Senin, menahan Direktur dan Komisaris PT Sharleen Raya (JECO Group) Hong Artha John Alfred (HA) yang sebelumnya telah ditetapkan sebagai tersangka dalam pengembangan kasus korupsi proyek di Kementerian PUPR Tahun Anggaran 2016.

"Tersangka HA ditahan selama 20 hari pertama terhitung sejak 27 Juli 2020 sampai dengan 15 Agustus 2020 di Rutan Klas I Jakarta Timur Cabang KPK di Gedung Merah Putih KPK," ucap Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar saat jumpa pers di Gedung KPK, Jakarta, Senin.

Sebelum dilakukan penahanan, tersangka sudah menjalani protokol kesehatan dalam rangka mitigasi penyebaran wabah COVID-19.

Penahanan tersebut, lanjut Lili, dilakukan setelah KPK memeriksa 80 saksi dalam penyidikan untuk tersangka Hong Artha tersebut. Selain itu, sebelum dilakukan penahanan, KPK hari ini juga memeriksa Hong Artha dalam kapasitasnya sebagai tersangka.

Ia mengatakan Hong Artha merupakan tersangka ke-12 dalam kasus ini. Sebelumnya, KPK telah menetapkan 11 orang lainnya sebagai tersangka terkait kasus tersebut.

"Sebanyak 11 tersangka tersebut terdiri dari lima anggota DPR RI, satu kepala badan, satu bupati, dan empat swasta. Seluruh tersangka tersebut telah divonis bersalah oleh Pengadilan Tipikor dan mempunyai kekuatan hukum tetap," ucap Lili.

Lili menjelaskan konstruksi kasus yang menjerat Hong Artha tersebut. Perkara bermula dari tertangkap tangannya anggota DPR RI 2014-2019 dari Fraksi PDIP Damayanti Wisnu Putranti bersama tiga orang lainnya di Jakarta pada 13 Januari 2016 dengan barang bukti total sekitar 99 ribu dolar AS.

"Uang tersebut merupakan bagian dari komitmen total suap untuk mengamankan proyek di Kementerian PUPR Tahun Anggaran 2016," tuturnya.

Penyidik, ucap Lili, mendapatkan fakta-fakta yang didukung dengan alat bukti berupa keterangan saksi, surat, dan barang elektronik bahwa tersangka Hong Artha dan kawan-kawan diduga memberikan uang kepada sejumlah pihak.

Pertama, kepada mantan Kepala BPJN IX Maluku dan Maluku Utara Amran Hi Mustary sebesar Rp8 miliar pada Juli 2015 dan Rp2,6 miliar pada Agustus 2015.

Kedua, kepada mantan anggota DPR RI 2014-2019 dari Fraksi PDIP Damayanti Wisnu Putranti sebesar Rp1 miliar pada November 2015.

"Pemberian-pemberian tersebut diduga terkait pekerjaan proyek infrastruktur pada Kementerian PUPR Tahun Anggaran 2016," kata Lili.

Hong Artha disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.