Ketua LPD ditetapkan tersangka kasus korupsi Rp137 miliar

id Kejari Buleleng ,Buleleng ,kasus korupsi,Ketua LPD ditetapkan tersangka kasus korupsi Rp137 miliar,Lembaga Perkreditan Desa

Ketua LPD ditetapkan tersangka kasus korupsi Rp137 miliar

Ilustrasi - Beberapa pegawai Kejari Buleleng berada di bagian Pelayanan Terpadu Satu Pintu. ANTARA/HO-website Kejari Buleleng. (Antara/Ayu Khania Pranisitha/2021)

Buleleng (ANTARA) - Kejaksaan Negeri (Kejari) Buleleng menetapkan Ketua Lembaga Perkreditan Desa (LPD) Desa Adat Anturan, Kecamatan/Kabupaten Buleleng, Bali berinisial NAW menjadi tersangka kasus korupsi dana LPD senilai Rp137 miliar.
 
"Berdasarkan Surat Penetapan Tersangka Nomor: B-713/N.1.11/Fd.2/11/2021 tanggal 22 November 2021, tim penyidik telah menetapkan satu orang tersangka dengan inisial NAW yang menjabat selaku Ketua LPD Anturan," kata Kajari Buleleng I Putu Gede Astawa dalam siaran pers yang diterima di Denpasar, Selasa malam.
 
Ia mengatakan bahwa dari hasil perhitungan sementara tim penyidik Kejari Buleleng, diduga ada temuan selisih dana yang berindikasi merugikan keuangan negara sekitar Rp137 miliar.
 
Hingga saat ini, penyidik masih menunggu hasil perhitungan selisih dana tersebut dari pihak tim Inspektorat Daerah Buleleng.
 
Dia menjelaskan sejak tahun 2010 sampai dengan saat ini, LPD Desa Adat Anturan menjalankan usaha simpan pinjam dan ada juga usaha tanah kaveling, penerimaan pembayaran rekening listrik, air, telepon, pembayaran pajak, dan ekspansi penyaluran kredit sampai keluar wilayah Desa Pakraman berdasarkan hasil Pararem Pajuru Desa Pakraman Anturan.
 
Selanjutnya, tahun 2019 LPD Desa Adat Anturan memiliki aktiva lain-lain berupa tanah kaveling senilai Rp28.301.572.500 yang tersebar di 34 lokasi yang berbeda.
 
"Tapi dalam aktiva lain-lain berupa tanah kaveling itu juga dimasukkan Dana Punia (Sukarela) senilai Rp500.000.000," katanya.
 
Dari jumlah kredit yang disalurkan pada tahun 2019 sebesar Rp244.558.694.000, terdapat Tunggakan Bunga yang belum dibayar oleh nasabah adalah sebesar Rp12.293.521.600 lalu dijadikan kredit.
 
"Saat itu tidak ada perjanjian kredit antara nasabah dengan pihak Lembaga Perkreditan Desa (LPD) Desa Adat Anturan dan juga kredit yang tidak ada dokumen kreditnya (kredit fiktif) sebesar Rp150.433.420.956," ujar Kajari.
 
Ia mengatakan dalam pengelolaan LPD Desa Adat Anturan tahun 2019 terdapat selisih antara modal sebesar Rp29.262.215.507,50 dan simpanan masyarakat Rp 253.981.825.542,00 dengan total aset Rp146.175.646.344,00 kurang lebih sebesar Rp137.068.394.705,50.
 
Dikatakannya bahwa usaha kaveling tanah LPD Desa Adat Anturan dikelola atau dilaksanakan oleh tersangka selaku Ketua LPD Desa Adat Anturan.
 
Lalu, dalam pengelolaan usaha kaveling tanah tersebut tidak memiliki tenaga pemasaran, sehingga untuk pemasaran tanah kaveling tersebut menggunakan jasa perantara (makelar) dengan memberikan fee sebesar 5 persen dari hasil penjualan dan disimpan dalam rekening LPD.
 
Selanjutnya, hasil penjualan tanah kaveling tersebut ada yang dipergunakan untuk melakukan persembahyangan (Tirta Yatra), di antaranya ke Kalimantan sebesar Rp500.000.000, ke Lombok sekitar Rp75.000.000, ke Gunung Salak sekitar Rp150.000.000, dan untuk di Bali sekitar Rp50.000.000, diikuti oleh semua karyawan dan perangkat desa adat beserta keluarga. Namun, penggunaan dana tersebut tidak dilaporkan oleh tersangka.
 
Tersangka NAW saat ini disangkakan melanggar ketentuan Pasal 2, Pasal 3, Pasal 8 dan Pasal 9 UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Barang bukti berupa dokumen kredit LPD, mobil, 12 sertifikat tanah, dan laporan-laporan keuangan tahunan.