Palangka Raya (ANTARA) - Ombudsman RI mengirimkan surat resmi sekaligus mengajukan usulan kepada Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto, terkait perbaikan tata kelola industri sawit nasional.
Usulan yang diajukan itu berupa pembentukan Banda Sawit Nasional sebagai solusi terintegrasi menyelesaikan permasalahan krusial dalam industri sawit, kata Anggota Ombudsman RI Yeka Hendra Fatika melalui rilis diterima di Palangka Raya, Kamis.
"Jika pengelolaannya akuntabel, keberadaan Badan Sawit Nasional akan memberikan tambahan pendapatan bagi negara Rp 650 triliun," ujarnya.
Menurut dirinya, apabila negara ini berkeinginan mengoptimalkan kontribusi industri sawit bagi perekonomian nasional, sudah waktunya Indonesia memiliki Badan Sawit Nasional yang mengelola seluruh kebijakan dari hulu hingga hilir.
Yeka mengatakan, tambahan pendapatan negara Rp 650 triliun tersebut berasal dari peningkatan produktivitas, harga ekspor CPO (crude palm oil) yang lebih tinggi karena tidak lagi bermasalah soal deforestasi, hingga tambahan pajak dari sektor sawit
"Data Kementerian Keuangan, kontribusi industri sawit ke APBN 2023 kurang lebih Rp 88 triliun. Rinciannya, dari sektor pajak Rp 50,2 triliun, PNBP Rp 32,4 triliun, dan Bea Keluar sebesar Rp 6,1 triliun," beber dia.
Untuk itu, lanjut dia, Badan Sawit Nasional diusulkan menjadi lembaga yang berada langsung di bawah Presiden, agar mampu memangkas tumpang tindih kebijakan yang selama ini tersebar di berbagai kementerian dan lembaga seperti Kementerian Pertanian, Perindustrian, Kehutanan, hingga ATR/BPN.
"Keberhasilan Malaysia Palm Oil Board (MPOB) yang mampu mengelola industri sawit secara terintegrasi dan efisien, meskipun luas lahannya jauh lebih kecil dari Indonesia. Hasilnya, harga Tandan Buah Segar (TBS) di Malaysia lebih stabil dan lebih tinggi," kata Yeka mencontohkan.
Anggota Ombudsman RI itu pun menyoroti berbagai masalah mendesak yang membelit industri sawit. Salah satunya adalah rendahnya produktivitas perkebunan sawit rakyat yang hanya mencapai 8–10 ton per hektare, jauh di bawah potensi maksimal 19–20 ton per hektare. Hal ini disebabkan oleh buruknya kualitas benih sawit.
Dia mengatakan sekitar 70 persen sawit rakyat menggunakan benih tidak berkualitas. Kunci perbaikannya adalah replanting, tapi pelaksanaannya sangat lambat, padahal dananya ada di Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).
"Hingga kini, dari total potensi 6 juta hektare kebun rakyat, replanting baru mencakup sekitar 100 ribu hektare per tahun," ujarnya.
Baca juga: Polda akui tiga kabupaten di Kalteng rawan penjarahan TBS sawit
Permasalahan lain yang krusial adalah tumpang tindih lahan sawit dengan kawasan hutan, yang membuat produk sawit Indonesia sulit bersaing secara global. Akibat belum adanya sertifikasi berkelanjutan seperti RSPO untuk sebagian besar sawit nasional, harga CPO Indonesia lebih rendah dibanding negara lain seperti Malaysia.
Terkait tumpang tindih lahan, Yeka menyoroti keberadaan Satgas Penertiban Kawasan Hutan (PKH). Diakuinya, kehadiran Satgas PKH yang didalamnya ada unsur TNI, Polri, dan Kejaksaan memang menimbulkan kesan militeristik. Namun, hal tersebut hanya masalah komunikasi. Yeka menyebut adanya harapan di balik pendekatan baru ini.
"Jika sipil saja mengurus sawit, mungkin masih banyak masalah. Tapi kehadiran unsur TNI bisa saja niatnya serius, ingin membersihkan tata kelola sawit," demikian Yeka.
Baca juga: DPRD Kotim minta Satgas PKH berikan kejelasan penertiban kawasan
Baca juga: Polda Kalteng tangkap otak penjarahan sawit di PT AKPL
Baca juga: Sebanyak 27 pelaku penjarah sawit di Kalteng ditetapkan jadi tersangka