Jakarta (ANTARA) - Ketua Komite Nasional Pengendalian Tembakau, Prijo Sidipratomo memastikan kebijakan menggabungkan produksi rokok akan membuat harga menjadi mahal sehingga dapat mencegah anak untuk merokok.

"Saya kira gabung saja produksi SPM dan SKM (sigaret putih mesin dan sigaret kretek mesin) akan membuat harga beberapa merek rokok menjadi lebih mahal," kata Prijo di Jakarta, Rabu.

Menurut Prijo kebijakan menggabungkan produksi rokok akan membuat produsen harus membayar tarif cukai rokok untuk golongan satu sehingga membuat harganya menjadi mahal serta tidak lagi terjangkau bagi anak-anak.

Soal apakah penggabungan itu bakal membuka peluang terjadinya praktik oligopoli terutama di industri hasil tembakau (IHT), Prijo memastikan memang ada celah seperti itu, namun bisa diantisipasi melalui kebijakan.

Menurut dia KPPU sudah melihat hal itu serta telah meminta agar kebijakan penggabungan itu jangan sampai menimbulkan praktik oligopoli

Sebelumnya Kodrat Wibowo, Komisioner KPPU menjelaskan kebijakan yang dibuat pemerintah tidak boleh memunculkan celah yang berpotensi menciptakan praktik persaingan usaha tidak sehat, apalagi kartel akibat oligopoli.

Kodrat menjelaskan, praktik oligopoli industri hasil tembakau sangat berbahaya bagi upaya pemerintah mengurangi konsumsi rokok nasional.

Sebab, perusahaan-perusahaan besar dapat mengendalikan harga dan berbagai aktivitas pemasaran rokok di Indonesia.

Apalagi, meski setiap tahun pemerintah cenderung menaikkan tarif cukai, namun beberapa kebijakan lain justru mendukung penjualan rokok dengan harga murah.

Salah satunya adalah kebijakan diskon rokok yang memungkinkan pembeli mendapatkan harga 85 persen dari tarif yang tercantum dalam banderol.

Jika perusahaan rokok besar menggunakan kedua celah tersebut maka bakal membawa kerugian yang sangat besar baik dari sisi persaingan maupun upaya penurunan konsumsi rokok oleh masyarakat.

“Kalau makin sedikit (jumlah perusahaan) memang efisien. Tapi persaingan akan tidak sehat,” tegas Kodrat.

Para pemain asing besar umumnya memproduksi Sigaret Putih Mesin (SPM) dan Sigaret Kretek Mesin (SKM). Persoalan kemudian muncul ketika para perusahaan asing tersebut memainkan batasan produksi sehingga tidak menyentuh angka tiga miliar batang di masing-masing kategori. Akibatnya, mereka menikmati cukai dengan tarif yang lebih rendah.

Padahal, jika produksi SPM dan SKM digabungkan maka jumlah produksi mereka jauh di atas tiga miliar batang, sehingga layak dikenai tarif cukai tertinggi di masing-masing kategori.

“Itu kan tujuannya untuk menambah penerimaan cukai. PMK itu diteruskan sesuai dengan desain agar tidak ada lagi pihak yang dirugikan,” tegas Kodrat.

Oleh karena itu, KPPU merekomendasikan agar pemerintah menggabungkan batasan produksi SPM dan SKM, sehingga produsen rokok yang besar-besar itu akan dikenakan tarif cukai tertinggi di masing-masing kategori.

Pewarta: Ganet Dirgantara
Editor: Yuniardi Ferdinand
Copyright © ANTARA 2019