Jakarta (ANTARA) - Pengamat wilayah Asia Selatan dari Universitas Indonesia, Agung Nurwijoyo saat ditemui di Jakarta, Rabu, mengatakan penutupan Kashmir yang dikuasai India dapat memicu pemberontakan dari kelompok pegaris keras sehingga warga sipil berpotensi jadi korban pertempuran antara petempur dan aparat.

Saat ditemui sebelum menghadiri diskusi tentang Kashmir, Agung mengatakan pembatasan ruang gerak dan akses komunikasi justru membuat ketegangan di Kashmir makin memanas.

"Dalam kondisi yang tertekan, represif, potensi munculnya insurgency (pemberontakan, red) justru besar. Untuk itu, berhenti mengisolir Kashmir sebenarnya jadi upaya memitigasi adanya masalah baru itu," terang Agung.

Pemerintah India menutup akses ke negara bagian Kashmir dan membatasi ruang gerak serta jalur komunikasi di dalamnya sejak 4 Agustus atau sehari sebelum Perdana Menteri India Narendra Modi mencabut otonomi khusus daerah tersebut pada 5 Agustus.

Pembatasan itu dilakukan dengan menetapkan jam malam serta menerjunkan 10.000 pasukan militer di Kashmir guna mengantisipasi aksi protes pencabutan otonomi khusus. Selain itu, pemerintah India juga menutup sekolah dan kampus, meminta wisatawan meninggalkan Kashmir, memutus akses telepon dan layanan internet, serta menahan pemimpin negara bagian itu di  rumah.

Selama 70 tahun, Kashmir memiliki otonomi khusus yang memperbolehkan pemerintah negara bagian mengatur izin tinggal, pengurusan kepemilikan tanah dan properti, serta urusan lainnya kecuali membangun hubungan luar negeri, pasukan keamanan, dan komunikasi. Namun saat status itu dicabut, pemerintah negara bagian Kashmir tak lagi mengendalikan pemberian izin jual beli lahan dan properti.

Narendra Modi yang berasal dari partai Hindu-nasionalis Bharatiya Janata Party (BJP) telah menjadikan pencabutan status istimewa Kashmir sebagai agenda utama saat terpilih sebagai perdana menteri India untuk periode kedua. Bagi banyak warga Kashmir, rencana Modi itu merupakan upaya mengubah demografi negara bagian itu agar tak lagi didominasi oleh penduduk muslim.

Walaupun pemerintah India berjanji akan mengakhiri pembatasan setelah 15 Agustus, penutupan di Kashmir kembali memancing ketegangan antara India dan negara tetangganya, Pakistan.

Tak hanya mengecam pencabutan otonomi khusus di Kashmir, Pakistan sempat mengancam akan menarik perwakilan negaranya di New Delhi dan mengusir duta besar India untuk Pakistan di Islamabad.

Rivalitas India dan Pakistan terkait Kashmir telah berlangsung sejak dua negara itu merdeka dari Inggris pada 1947. Keduanya sempat sepakat untuk membagi Kashmir melalui Perjanjian Simla pada 1972.

Baca juga: Pakistan berikan doa khusus Idul Adha untuk Kashmir

Baca juga: Pakistan putuskan jalur transpor ke India terkait Kashmir

Baca juga: Indonesia amati peningkatan ketegangan di wilayah Kashmir

Pewarta: Genta Tenri Mawangi
Editor: Gusti Nur Cahya Aryani
Copyright © ANTARA 2019