Masyarakat meyakini, dengan pasokan listrik yang stabil sepanjang waktu, kesejahteraan masyarakat bisa meningkat.
Jakarta (ANTARA) - Sejumlah tokoh masyarakat adat tiga kecamatan yaitu Sipirok, Marancar, dan Batangtoru (Simarboru), Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, menyatakan dukungannya terhadap pembangunan pembangkit listrik energi terbarukan PLTA Batang Toru.

Dukungan tersebut disuarakan dalam aksi damai di depan Kedutaan Besar Kerajaan Inggris dan Kedutaan Besar Kerajaan Belanda, Jakarta, Kamis.

Raja Adat Marancar Baginda Kali Rajo Yusuf Siregar mengatakan, masyarakat mendukung PLTA Batang Toru karena sangat membutuhkan pasokan listrik. Masyarakat meyakini, dengan pasokan listrik yang stabil sepanjang waktu, kesejahteraan masyarakat bisa meningkat.

“Masyarakat kami bisa bekerja pada malam hari menenun sehingga penghasilan pun bertambah. Anak-anak pun bisa belajar saat malam hari,” katanya.

Apalagi, tambah Yusuf, listrik yang dihasilkan dari Proyek Strategis Nasional (PSN) Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla, itu, merupakan listrik terbarukan yang bersih dan berkelanjutan.

PLTA Batang Toru merupakan bagian dari proyek penyediaan listrik 35.000 MW.

Saat beroperasi pada 2022 nanti, PLTA Batang Toru bisa menghemat penggunaan bahan bakar fosil impor lebih dari Rp5 triliun per tahun dan menahan pelepasan emisi gas rumah kaca penyebab bencana pemanasan global sebanyak 1,6 juta ton setara karbondioksida per tahun.


Tolak intervensi
Dalam aksi tersebut masyarakat adat tersebut juga menolak intervensi dan provokasi peneliti dan aktivis lembaga swadaya masyarakat asing terkait pembangunan pembangkit listrik energi terbarukan PLTA Batang Toru.

Mereka mendesak pemerintah Inggris dan Belanda menindak warga negaranya yang terus menyebar kampanye negatif terhadap pembangunan PLTA Batang Toru di wilayah Simarboru dengan memakai isu lingkungan dan orangutan.

Raja Luat Sipirok Sutan Parlindungan Suangkupon Edward Siregar menyatakan, kampanye yang dilancarkan LSM dan peneliti asing bahwa keberadaan orangutan di Simarboru terancam merupakan kebohongan publik.

Masyarakat Simarboru, katanya, sudah hidup berdampingan dengan orangutan sejak lama. Bahkan, masyarakat membiarkan orang-utan mengambil buah-buahan dari kebun mereka tanpa ada konflik apapun.

Sementara itu Yusuf Siregar menambahkan, jika orang asing yang menolak pembangunan PLTA beralasan konservasi orangutan, hal itu sungguh mengherankan masyarakat.

Pasalnya, tambahnya, mereka tidak pernah menolak keberadaan tambang emas yang lokasinya berdekatan dan areal tambangnya sangat luas. “Ini mengherankan. PLTA mereka tolak, tapi mengapa tambang emas di sebelahnya tidak pernah ditolak?” tanya Yusuf.

Selain mendatangi Kedutaan Besar Inggris dan Belanda, tokoh masyarakat Simarboru juga akan mendatangi Kementerian Luar Negeri dan Kantor Staf Presiden.

Baca juga: Pengamat: realisasi potensi PLTA di Indonesia kurang dari 10 persen
Baca juga: PLTA Batang Toru kurangi emisi karbon 1,6 juta ton

Pewarta: Subagyo
Editor: M Razi Rahman
Copyright © ANTARA 2019