Kupang (ANTARA) - Pengamat hukum tata negara dari Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang, Dr. Johanes Tube Helan, SHum meyakini, rakyat tidak mendukung jika presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) seperti sebelumnya.

"Memang ada suara yang menghendaki agar dalam amendemen terbatas UUD 1945, presiden dipilih oleh MPR, tetapi saya meyakini bahwa keinginan itu tidak akan mendapat dukungan masyarakat," kata Johanes Tuba Helan kepada Antara di Kupang, Jumat.

Dia mengemukakan hal itu, berkaitan dengan wacana amendemen terbatas UUD 1945, dan kemungkinan dapat bermuara kepada perubahan sistem pemilihan presiden secara langsung di masa depan.

Menurut dia, keinginan sebagian orang itu tidak akan mendapat dukungan rakyat, karena sistem pemilihan presiden oleh MPR sudah ditinggalkan karena dianggap tidak baik untuk sebuah negara demokrasi.

"Tetapi kalau kita kembali memberikan mandat pada MPR untuk memilih presiden, berarti terjadi kemunduran dalam demokrasi," katanya mantan Kepala Ombudsman Perwakilan NTB-NTT itu.

Wacana amendemen UUD 1945 kembali mencuat pasca-Kongres V PDIP yang berakhir pada 11 Agustus lalu.

Salah satu rekomendasi kongres partai utama pendukung Jokowi tersebut adalah mendorong MPR periode 2019-2024 mengamendemen UUD 1945 untuk menetapkan GBHN.

Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto menyatakan, GBHN akan menjadi pembimbing arah Indonesia maju. Meski begitu, ia memastikan pemilihan presiden tetap berada di tangan rakyat.

"Amendemen bersifat terbatas berkaitan GBHN," kata Hasto dikutip dari Antara, (10/8). 
 

Pewarta: Bernadus Tokan
Editor: Yuniardi Ferdinand
Copyright © ANTARA 2019