Jakarta (ANTARA) - Persatuan Perusahaan Realestat Indonesia meminta Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat meninjau beberapa butir Peraturan Menteri tentang Perjanjian Pendahuluan Jual-Beli (PPJB) rumah yang dinilai tidak mencerminkan keadilan bagi pengembang properti.

"Kami menilai soal PPJB yang diatur melalui Permen PUPR Nomor 11/PRT/M/2019 yang dikeluarkan pada 18 Juli lalu belum memenuhi azas keadilan untuk pengembang," kata Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perusahaan Realestat Indonesia (REI) Soelaeman Soemawinata di Jakarta, Selasa.

Selain itu, kata dia, secara psikologis aturan tersebut dikhawatirkan bakal mengganggu tahap pemulihan pasar properti yang saat ini masih terpuruk.

Soelaeman menegaskan setiap regulasi haruslah memenuhi azas keadilan untuk semua pihak karena setiap warga negara memiliki kedudukan yang sama di depan hukum. Demikian juga Permen PPJB sepatutnya berkeadilan untuk semua, bukan hanya untuk konsumen, tetapi juga untuk pengembang.

“Yang terpenting adalah setiap aturan hukum itu harus adil. Perbuatan wan prestasi (ingkar janji) tidak hanya dari pengembang, tetapi juga sering dari konsumen,” kata Soelaeman.

Dia menyoroti salah satu ketentuan di dalam Permen PPJB yang menyebutkan bahwa pembeli dapat meminta pengembalian biaya kepada pengembang apabila pengembang tidak menepati perjanjian pembangunan.

Di sisi lain, aturan ini tidak mengatur ketentuan denda atau sanksi administrasi kepada pembeli apabila pembeli tidak memenuhi kewajibannya seperti telat membayar cicilan uang muka rumah atau tidak memenuhi persyaratan penting di dalam perjanjian.

Sanksi
Supaya adil, kata Soelaeman, maka pemutusan perjanjian yang disebabkan oleh kelalaian konsumen atau pembeli seharusnya juga ada sanksi administrasinya.

“Harus dong, karena ada kewajiban-kewajiban pajak yang sudah dikeluarkan dan disetor ke negara, kemudian fee marketing dan kewajiban lain-lain yang semua itu tidak mungkin ditarik atau ditagihkan lagi," kata dia.

Jadi, kata dia, sanksi kerugian yang dialami pengembang akibat ketidakmampuan konsumen ini juga perlu dijelaskan. "Harus lebih detail,” ungkap Presiden FIABCI Asia Pasifik tersebut.

Penerbitan Permen No 11 Tahun 2019 juga dianggap tidak tepat di tengah kondisi pasar properti yang masih terpuruk. Menurut Soelaeman, regulasi ini memberatkan, sehingga mengganggu dan mempengaruhi pengembang secara psikologis.

Kondisi itu kontraproduktif dengan keinginan pemerintah menjadikan sektor properti khususnya perumahan sebagai lokomotif pertumbuhan ekonomi nasional.

Di dalam surat masukannya kepada Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), REI menyampaikan beberapa hal untuk menjadikan aturan tersebut lebih berkeadilan dan implementatif di lapangan.

Pertama, menyangkut perlunya sinkronisasi. REI mengharapkan beberapa syarat mengenai perizinan yang disebutkan di Permen PPJB dapat disinkronkan dengan jenis-jenis dan nomenklatur perizinan di daerah.

Misalnya terkait aturan pemasaran yang harus menunjukkan nomor dan tanggal penerbitan izin mendirikan bangunan induk atau Izin Mendirikan Bangunan (IMB).

Soelaeman memberi contoh di DKI Jakarta. Untuk hunian vertikal (bangunan tinggi) justru nomenklatur IMB itu ada setelah bangunan rampung.

“REI meminta ada petunjuk teknis atau petunjuk pelaksana, apakah nomenklatur di Permen PPJB itu bersifat rigid atau substansif," katanya.

Pihaknya tentu berharap sifatnya substansif dalam arti proses IMB yang secara teknis sudah disetujui pemerintah daerah, maka sudah bisa dipasarkan. "Intinya, perizinan di daerah berbeda-beda sehingga tidak harus disamaratakan,” tegasnya..

Kedua, ada beberapa poin di dalam permen tersebut yang bersifat multitafsir. REI meminta ini dijelaskan dulu.

Misalnya mengenai ketentuan informasi pemasaran (brosur) yang harus memuat banyak sekali informasi. Yang terpenting, ujar dia, saat konsumen mau membeli dan meminta informasi izin yang diminta konsumen, pengembang bisa menunjukkannya.

"Jadi tidak perlu harus semua termuat di dalam brosur," ujar dia.

“Banyak hal lain yang REI input kepada pemerintah karena kami anggap ada yang tidak sinkron dan multitafsir sehingga sangat mengganggu pengembang. Sejauh ini respons PUPR cukup bagus dan semoga dapat dikeluarkan detail dan teknis aturan yang lebih fair dan dapat disepakati oleh semua pihak,” kata Soelaeman.

Pewarta: Ganet Dirgantara
Editor: Sri Muryono
Copyright © ANTARA 2019