Eksistensi PLTA itu sama dengan menanam 12 juta batang pohon.
Jakarta (ANTARA) - Pengamat lingkungan hidup Emmy Hafild mengatakan bahwa pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Batang Toru di Tapanuli, Selatan Sumatera Utara jangan dibenturkan dengan habitat orang utan karena kedua hal tersebut bisa saling berjalan secara harmoni.

"Kegiatan ekonomi masih dapat dilakukan dengan dampak minimal terhadap orang utan, bukan dengan melarang kegiatan ekonominya," ujar Emmy Hafild di Jakarta, Minggu.

Emmy mengemukakan pembangunan PLTA Batang Toru berada di kawasan Area Penggunaan Lain (APL) yang sudah ditetapkan sejak 2004.

"Proyek itu mempunyai dampak positif terhadap lingkungan yang besar jika dibandingkan dengan perkebunan maupun pertambangan emas yang ada di sana," katanya.

Baca juga: Pengembang PLTA Batang Toru tegaskan komitmen untuk lindungi orangutan

Sementara itu, Biodiversity Expert of PT North Sumatera Hydro Energy (NSHE), Barita Manullang selaku pengembang PLTA itu mengatakan bahwa habitat orang utan di Tapanuli, Selatan Sumatera Utara tidak terganggu dengan kehadiran PLTA Batang Toru.

"Habitat orangutan Tapanuli tersebar di hutan-hutan dalam ekosistem Batang Toru seluas 165 ribu hektar, sebuah wilayah yang Iebih luas dibandingkan dengan wilayah DKI Jakarta," katanya.

Orang utan, lanjut dia, selalu bergerak berpindah tempat dengan daerah jelajah yang bervariasi antara 800-3.000 hektar. Sedangkan luas tapak struktur bangunan PLTA Batang Toru adalah 122 hektar atau 0,07 persen dari total kawasan ekosistem Batang Toru.

Dengan demikian, menurut dia, luas areal proyek Iebih kecil dibandingkan dengan kebutuhan habitat bagi satu individu orang utan.

Baca juga: Masyarakat adat dukung keberadaan PLTA Batang Toru

Communications and External Affairs Director PT North Sumatera Hydro Energy (NSHE) Firman Taufick mengatakan kapasitas PLTA Batang Toru sebesar 510 megawatt, merupakan bagian dari pelaksanaan Program Strategis Nasional untuk mencapai target pembangunan pembangkit Listrik 35.000 megawatt.

"Program energi terbarukan kita ini untuk menggantikan peran pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) yang menghasilkan karbon lebih tinggi dibandingkan PLTA," katanya.

Ia mengemukakan bahwa PLTA mampu mengurangi emisi karbon sebanyak 1,6 juta ton karbon setiap tahun di udara dengan menghasilkan energi bersih tanpa polusi.

"Eksistensi PLTA itu sama dengan menanam 12 juta batang pohon," ucapnya.

Di sisi lain, lanjut dia, pengoperasian PLTA itu juga tidak menggunakan bahan bakar minyak (BBM) sehingga ada penghematan anggaran untuk belanja BBM kurang lebih 400 juta dolar AS per tahun atau sekitar Rp5,6 triliun.

Baca juga: Pengamat: realisasi potensi PLTA di Indonesia kurang dari 10 persen

 

Pewarta: Zubi Mahrofi
Editor: M Razi Rahman
Copyright © ANTARA 2019