Jakarta (ANTARA) - Direktur The National Maritime Institute (Namarin) Siswanto Rusdi menilai ada celah pada hukum kemaritiman yang kerap dimanfaatkan oleh oknum untuk melakukan pemerasan demi keuntungan pribadi.

"Seharusnya diatur agar tidak ada lagi oknum yang menahan kapal, barang, awak kapal yang berujung pada pemerasan," kata Siswanto di Jakarta, Rabu.

Namarin selaku lembaga yang fokus kepada pengkajian bidang pelayaran, pelabuhan dan keamanan maritim memandang perlu peraturan yang ada sekarang dipertegas kembali untuk menekan aksi-aksi semacam itu.

Salah satu kasus yang sudah cukup lama bergulir adalah penahanan kapal kargo oleh sekelompok orang di salah satu wilayah di Indonesia

"Kalau di hukum kemaritiman seharusnya kapal tidak boleh disita begitu saja, tetapi karena Indonesia tidak ada hukumnya, celah ini dimanfaatkan oleh para mafia dan preman pelabuhan,” ujarnya.

Baca juga: Namarin: Kontrak perpanjangan ditolak dinilai perburuk JICT

Siswanto mengungkapkan, dalam praktiknya seharusnya setiap kapal dengan kontrak pengangkutan harus menyelesaikan pengiriman terlebih dahulu. Namun karena ada pihak yang bersengketa dan menggunakan preman pelabuhan, kapal kemudian ditahan hingga akhirnya merugikan pemilik kapal.

Menurut Siswanto, pendekatan yang seharusnya adalah jika ada tindakan hukum yang dilakukan, silakan diselesaikan, tetapi bisnis harus tetap berjalan dan tidak perlu terkait dengan kapten kapal maupun ABK.

“Jadi, kelemahan hukum kita dimanfaatkan. Misalnya ada pihak yang bersengketa, kemudian dipidanakan, barang disita. Sementara kita tidak butuh hal itu dalam bisnis pelayaran," katanya.

"Kita selesaikan saja masalah, tetapi bisnis tetap jalan. Nah, hal ini tidak ada. Pendekatannya seperti itu, gak perlu sita-sita kapal. Kelemahan sistem hukum kita seperti itu. Selama itu tidak diperbaiki ke depan itu akan begitu saja,” kata Siswanto

Belajar dari peristiwa tersebut, Siswanto berharap ke depan ada hukum yang jelas dan pemerintah dapat bertindak tegas untuk memangkas kegiatan premanisme dan mafia di pelabuhan.

Kegiatan premanisme dan mafia di pelabuhan ini juga mencederai program Poros Maritim yang menjadi salah satu program pemerintah.

Semestinya keamanan di pelabuhan harus menjadi prioritas utama, apalagi Indonesia sudah terpilih kembali menjadi anggota Dewan IMO (International Maritime Organization).

Baca juga: SP JICT diminta hentikan kebiasaan menyandera terminal

Pakar hukum kemaritiman Indonesia Chandra Motik menuturkan, dalam UU Pelayaran disebutkan, kapal hanya bisa ditahan jika ada perintah penahanan kapal dari pengadilan.

Chandra Motik mengatakan, dalam UU Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran Pasal 222 ayat 1 dan 2. Pada ayat pertama disebutkan, syahbandar hanya dapat menahan kapal di pelabuhan atas perintah tertulis pengadilan.

Penahanan kapal hanya bisa dilakukan berdasarkan perintah tertulis pengadilan misalnya terkait dengan perkara pidana atau bahkan perdata.

“Itupun yang berhak untuk menahan kapal adalah pihak berwajib bukanlah sekelompok orang," ujarnya.

Pewarta: Ganet Dirgantara
Editor: Sri Muryono
Copyright © ANTARA 2019