Jakarta (ANTARA) - Guru Besar Universitas Diponegoro Eddy Pratomo mengatakan perundingan terkait batas maritim Indonesia membutuhkan waktu panjang sehingga ia menyarankan agar tongkat estafet perundingan sudah disiapkan ke generasi penerus.

"Perundingan ini sangat teknis pembahasannya, perlu waktu yang cukup lama, dan kita harus sabar karena tidak hanya masalah hukum laut saja,” katanya di Jakarta, Selasa.

Eddy menyampaikan penetapan batas maritim Indonesia sangat krusial untuk menjaga kedaulatan negara. Namun, ia mengakui penetapan batas maritim memiliki kompleksitas tersendiri, bukan hanya karena fakta geografis Indonesia yang berbatasan dengan 10 negara, namun juga karena status hukum Indonesia sebagai negara kepulauan.

"Perbedaan prinsip antara status Indonesia sebagai negara kepulauan dan negara tetangga yang merupakan negara kontinen, seringkali menjadi isu perdebatan utama dalam mengaplikasikan berbagai metode penarikan garis batas, sehingga seringkali menyebabkan perundingan berjalan dalam waktu yang lama,” kata mantan utusan khusus Presiden untuk perundingan batas maritim Indonesia-Malaysia itu.

Baca juga: Indonesia dorong percepatan perjanjian batas maritim dengan 10 negara

Dalam kesempatan yang sama, Pelaksana Tugas Sekretaris Kemenko Kemaritiman Agung Kuswandono mengatakan kegiatan diskusi kelompok (FGD) Delimitasi Batas Maritim diharapkan tidak hanya mampu melatih calon negosiator muda secara secara praktis maupun teoretis namun juga dapat merumuskan perencanaan makro dalam perundingan batas maritim.

"Di lapangan sering terjadi friksi karena masih banyaknya perjanjian batas maritim yang belum dibakukan sehingga kita perlu mencari solusi untuk menyelesaikan perjanjian-perjanjian batas tersebut yang tidak dapat dilakukan secara 'business as usual'," katanya.

Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia berbatasan dengan 10 negara tetangga. Sampai saat ini, pemerintah Indonesia telah menyelesaikan 18 perjanjian batas maritim untuk laut wilayah maupun perairan. Sebanyak 13 dari 18 perjanjian tersebut dihasilkan pada masa sebelum disepakatinya UNCLOS (United Nations Convention on the Law of the Sea) 1982.

Dari 10 negara tetangga, Indonesia baru meneken perjanjian bilateral terkait penetapan garis batas laut dengan Singapura. Kendati demikian, kedua negara belum secara tuntas menyelesaikan masalah perbatasan maritim atau laut kedua negara karena masih ada sebagian kecil wilayah perbatasan maritim yang belum diselesaikan oleh keduanya.

"Kita masih menunggu putusan Mahkamah Internasional soal Batu Puteh dan South Ledge. Putusan di situ bagaimana kepemilikan wilayah itu. Jadi belum tuntas karena perundingan itu per segmen," kata Asisten Deputi Delimitasi Batas Maritim Internasional Kemenko Kemaritiman Ayodhia GL Kalake.

Baca juga: Generasi muda harus paham penghitungan batas maritim
Baca juga: Reformasi soal batas laut harus segera dilakukan


 

Pewarta: Ade irma Junida
Editor: Subagyo
Copyright © ANTARA 2019