Jakarta (ANTARA) - Dispepsia adalah konstelasi gejala terkait lambung dan usus halus, bagian atas sistem saluran pencernaan. Dispepsia nonulseratif adalah istilah yang digunakan para ahli untuk menjelaskan pelbagai tanda dan gejala dari dispepsia persisten (menetap) atau rekuren (berulang, kambuhan) tanpa penyebab organik yang dapat diidentifikasi.
 
Istilah dyspepsia berasal dari kata Yunani kuno yang bermakna sistem pencernaan yang buruk (poor digestion). Di dalam literatur medis, terminologi "dispepsia" memiliki banyak sekali sinonim. Misalnya: functional dyspepsia, nonulcer dyspepsia, idiopathic dyspepsia, indigestion, upset stomach, gastralgia, bellyache, stomachache, disturbed digestion. Istilah singkatnya yakni sulit mencerna makanan. Masyarakat awam seringkali menyebut dispepsia sebagai serangan maag, gangguan lambung atau saluran pencernaan.

Prevalensi dispepsia di populasi umum mencapai 5–12 persen. Prevalensi dispepsia fungsional berdasarkan kriteria diagnosis Rome III sebesar 7 persen hingga 15,7 persen di wilayah Asia. Di Indonesia, penderita dispepsia seringkali ditemui di keseharian. Sayangnya, hanya sekitar 20-40 persen penderita dispepsia yang mau dan mampu mengunjungi fasilitas layanan kesehatan.

Penyebab dispepsia multifaktorial. Ada penyebab yang berasal dari saluran pencernaan. Istilah medisnya, traktus gastrointestinal luminal. Contohnya, dispepsia fungsional, volvulus gaster kronis, iskemia (mesenterik) intestinal atau gaster yang bersifat kronis, intoleransi makanan, neoplasma esofagus atau gaster, infeksi lambung (yang biasanya disebabkan oleh: jamur, virus terutama cytomegalovirus, dan bakteri, misalnya pada kasus tuberkulosis dan sifilis), gastroparesis (diabetes mellitus, postvagotomy, skleroderma, pseudo-obstruksi intestinal kronis, postviral, idiopatik), GERD (gastroesofageal reflux diseases, yakni berbaliknya makanan dari lambung ke kerongkongan), gangguan lambung infiltratif (penyakit Méniere, penyakit Crohn, gastroenteritis eosinofilik, sarkoidosis, amiloidosis), sindrom iritasi usus (IBS), parasit (berupa: Giardia lamblia, Strongyloides stercoralis).

Obat-obatan (medikamentosa) juga berpotensi sebagai penyebab dispepsia. Contoh: obat dari golongan glukokortikoid, narkotika, nitrat, akarbose, aspirin dan obat-obat golongan NSAIDs atau non steroid anti-inflamasi (termasuk agen selektif COX-2), kolkisin, estrogen, ethanol, gemfibrozil, levodopa, niasin, orlistat, kalium klorida, quinidine, sildenafil, theofilin, dan zat besi.

Kondisi sistemik yang berpotensi menyebabkan terjadinya dispepsia antara lain penyakit kencing manis (diabetes mellitus), insufisiensi adrenal, insufisiensi ginjal, gagal jantung, iskemik miokardial, keganasan intraabdominal, kehamilan, penyakit tiroid, hiperparatiroidisme.


Gangguan pankreatikobilier yang berpotensi menyebabkan terjadinya dispepsia, antara lain nyeri bilier (pada kasus cholelithiasis, choledocholithiasis, disfungsi sfingter Oddi), pankreatitis kronis, keganasan pada pankreas.

Riset menunjukkan bahwa konsentrasi plasma kolesistokinin sebagai respons terhadap makanan tinggi lemak lebih tinggi pada pasien dengan dispepsia fungsional dibandingkan dengan kontrol sehat. Ada perubahan kadar plasma ghrelin pada penderita dispepsia.

Kadar ghrelin yang beredar dalam sirkulasi tubuh dijumpai mengalami peningkatan saat seseorang mengalami stres. Inilah penjelasan ilmiah mengapa organ di saluran pencernaan seolah dapat menampilkan "pertunjukan" simfoni, orkestra, atau keroncong.


Adapun faktor risiko pencetus dispepsia antara lain: predisposisi genetika, dengan keberadaan gen GNB3 homozigot. Gaya hidup, kebiasaan, dan diet salah terkait merokok, konsumsi alkohol dan kafein. Gangguan psikologis seperti: cemas, depresi, somatisasi, riwayat personal pernah mendapatkan kekerasan seksual atau fisik di masa anak.

Baca juga: Dunia "disparenia", simulakra sanggama

Baca juga: Sang Penakluk epilepsi itu bernama sel punca dan terapi gen



Potret Klinis

Dispepsia ditandai dengan sensasi sakit, rasa nyeri, atau tidak enak yang dirasakan di perut bagian atas atau di ulu hati. Orang Jawa seringkali menyebutkan gejala ini sebagai "sebah". Sensasi ini bersifat individual alias subjektif, terkadang tidak berupa nyeri bagi sebagian orang.

Potret klinis dispepsia yang lain berupa perut seolah terasa penuh atau cepat merasa kenyang, meskipun realitanya mengonsumsi sedikit makanan. Perasaan kenyang muncul tidak hanya usai makan, namun perut serasa penuh. Di perut bagian atas terasa padat atau kembung. Seringkali muncul perasaan mual dan ingin muntah, namun tidak ada (sedikit) yang dapat keluar dari lambung.


Gejala penyerta dispepsia berupa menurunnya keinginan atau hasrat untuk makan, bahkan bisa saja selera makan menghilang sama sekali. Dapat pula disertai halitosis (napas berbau), penurunan berat badan, mulut dan lidah terasa pahit atau tidak seperti biasanya.

Dispepsia nonulseratif dapat didiagnosis saat semua penyebab organik lainnya telah dieksklusi, termasuk penyakit tukak lambung (peptic ulcer disease), refluks lambung esofagus, kanker (di lambung, esofagus, atau bagian perut lainnya), penyakit traktus bilier, gastroparesis (termasuk gastroparesis diabetik), pankreatitis, medikasi (terutama eritomisin dan golongan NSAIDs), gangguan metabolisme (hiperkalsemia, logam berat, atau hiperkalemia), penyakit perut/usus iskemik, gangguan sistemik (misal: gastritis eosinofilik, penyakit Crohn, sarkoidosis, penyakit celiac, gangguan tiroid).

Baca juga: Memberantas penyakit kaki gajah

Baca juga: Menaklukkan stroke dengan terapi sel punca



Solusi

Obat-obatan yang umumnya diresepkan oleh dokter untuk mengatasi dispepsia fungsional umumnya terbagi menjadi lima kategori. Pertama, medikamentosa untuk eradikasi Helicobacter pylori (H. pylori). Regimen klasik terdiri dari golongan PPI (proton pump inhibitor), amoksisilin, klaritromisin, dan bismuth.

Kedua, golongan antasid. Antasid termasuk obat anti-sekretori lambung (golongan PPI, penghambat reseptor H2) serta obat-obat penetral asam lambung (yang disebut juga sebagai obat protektif mukosal, seperti sukralfat). Contoh lain obat-obatan dari golongan antasid adalah aluminium hidroksida dan kalsium karbonat.

Ketiga, agen prokinetik. Salah satu agen prokinetik, mosapride, dapat mengurangi peradangan mukosa gastrointestinal. Oleh karena itu, prokinetik jelas dapat berkontribusi terhadap efek pereda gejala pada kasus dispepsia fungsional.


Keempat, enzim pencernaan (digestif) dan probiotik. Sebelum pemberian enzim-enzim digestif, ritme elektrik peristaltik dari dinding lambung tidak teratur, namun menjadi terkoordinasi dengan baik setelah dokter meresepkan enzim. Beberapa riset telah membuktikan bahwa penambahan probiotik seperti Lactobacillus hingga regimen eradikasi H. pylori dapat memperbaiki pengosongan lambung pada pasien yang mengalami keterlambatan atau penundaan proses pengosongan lambung terkait dengan keberadaan infeksi H. pylori.

Kelima, golongan antidepresan. Beberapa studi telah melaporkan efek menguntungkan dari pemberian dosis kecil obat golongan antidepresan trisiklik dan golongan SSRI (penghambat reuptake serotonin selektif). Perlu diperhatikan, obat-obat golongan antidepresan hanya dapat dibeli di apotek berdasarkan resep dokter atau psikiater.

Saat ini banyak klinisi menyadari perlunya pemberian antidepresan pada manajemen penderita dispepsia fungsional pada tiga kondisi. Pertama, bila gejala-gejala dispepsia fungsional terbukti somatisasi dari penyakit mental. Kedua, pelbagai faktor mental dan gejala lambung-saluran pencernaan (gastrointestinal) muncul bersamaan dan timbul eksaserbasi.

Ketiga, bila terbukti bahwa faktor-faktor psikologis dan mental bukan sebagai kausa dan terapi obat (eradikasi H. pylori, golongan PPI, dan prokinetik) tidak menunjukkan kemujarabannya. Belum ada konsensus tentang durasi terapi antidepresan dalam tatalaksana penderita dengan dispepsi fungsional.


Pencegahan efektif dispepsia adalah dengan stop merokok, berhenti mengonsumsi kafein, alkohol, dan menghindari penggunaan jangka panjang obat-obatan golongan steroid dan NSAIDs. Di dalam buku "The Art of Medicine", disebutkan beberapa strategi preventif dispepsia. Antara lain, membiasakan diri untuk mencuci tangan (minimal sebelum-sesudah makan, setelah bepergian, sebelum-sesudah menjenguk orang sakit). Berhenti makan sebelum merasa kenyang dan tidak akan makan sebelum merasa lapar.

Manajemen stres dan menghindari prokrastinasi (kebiasaan suka menunda dalam melakukan sesuatu), memulai serta mengakhiri makan-minum dengan berdoa, bersyukur kepada Allah atas karunia dan nikmatNya. Mengunyah makanan hingga lembut dan halus. Tidak tergesa-gesa menyantap menu makanan dan minuman yang disajikan.

*) dr Dito Anurogo MSc adalah dosen tetap FKIK Unismuh Makassar, kepala LP3AI ADPERTISI, Director networking IMA Chapter Makassar, Organisatoris di I-4, ASPI, APKKM, FLP Makassar Sulawesi Selatan, penulis profesional

Baca juga: Memahami syok jantung

Baca juga: Strategi sukses menghilangkan herpes


Copyright © ANTARA 2019