Kuala Lumpur (ANTARA) - Organisasi pemantau pekerja wanita Tenaganita menyatakan Undang-Undang Ketenagakerjaan Malaysia tidak mengakui pembantu sebagai pekerja dan menyebut mereka sebagai pembantu rumah tangga serta mengecualikan dari banyak ketentuan Undang-Undang Ketenagakerjaan 1955.

Direktur Tenaganita Sdn Bhd Glorene A Das mengemukakan hal itu memperingati Hari Migran Internasional di sekretariat Tenaganita, Rabu.

Menurut Asosiasi Pengusaha Pembantu Malaysia (MAMA) pada 2018 terdapat lebih dari 250.000 pekerja rumah tangga terdaftar di Malaysia yang semuanya adalah pekerja migran.

"Pekerja rumah tangga memberikan layanan yang tak ternilai di rumah dengan merawat anak-anak, orang tua dan lemah, dan mengelola rumah tangga, sehingga memungkinkan orang Malaysia menikmati standar hidup yang jauh lebih tinggi dan pada saat yang sama memungkinkan bagi banyak ibu untuk bergabung dengan angkatan kerja," katanya.

Dalam pandangan Tenaganita Perayaan Hari Migran Internasional akan tetap tidak berarti bagi ribuan pekerja rumah tangga yang bekerja keras untuk waktu yang lama, jam yang tidak diatur, sering dibayar rendah atau tidak dibayar, kehilangan makanan yang layak, tempat yang layak untuk beristirahat dan sebagainya.

"Kami juga mengakui bahwa banyak majikan memperlakukan pekerja rumah tangga mereka dengan bermartabat dan adil, sejumlah kasus yang ditangani oleh Tenaganita menyoroti fakta bahwa pelecehan terhadap pekerja rumah tangga di Malaysia tidak jarang terjadi," katanya.

Sebagai contoh, ujar dia, banyak dari kita mungkin pernah mendengar tentang kasus Adelina Sau yang meninggal dua tahun lalu akibat cedera yang diderita saat bekerja di rumah majikannya.

Adelina Jerima Sau (21) adalah PRT asal Kupang yang meninggal dunia kerana kegagalan pelbagai organ tubuh setelah dianiaya majikannya di sebuah rumah di di Taman Kota Permai, Bukit Mertajam, Penang.

Namun tidak banyak yang mengetahui kasus baru-baru ini yang ditangani oleh Tenaganita yang melibatkan pekerja rumah tangga yang secara teratur dilecehkan oleh majikannya sebagai akibatnya dia telah dibutakan di kedua matanya.

Tenaganita berpendapat pekerja rumah tangga sepenuhnya dikecualikan dari Orde Upah Minimum sejak awal (2012) hingga amandemen terakhir (2018).

"Kami secara teratur menangani kasus-kasus pekerja rumah tangga yang tidak dibayar sama sekali selama berbulan-bulan dan bertahun-tahun," katanya.

Dalam kasus terbaru Tenaganita memperoleh data terdapat lebih dari RM70.000 upah yang belum dibayar selama hampir sembilan tahun (2011-2019) dari seorang majikan yang lebih rendah dari upah minimum.

"Saat ini kami juga sedang menangani kasus lain yang melibatkan lebih dari RM 250.000 klaim upah yang belum dibayar untuk pekerjaan ganda antara 2013 hingga 2019 sebagai pekerja rumah tangga dan pekerja umum di tempat bisnis majikannya," katanya.

Dalam hal ini, ujar dia, pekerja rumah tangga bekerja tidak hanya sebagai pekerja rumah tangga tetapi juga sebagai pekerja komersial di toko majikannya.

Hingga September 2019 Tenaganita telah menangani kasus 55 wanita dan 45 pria di Lembah Klang (Kuala Lumpur dan sekitarnya) dan 48 wanita serta 28 pria) di Penang. Hal ini termasuk kasus tahun lalu yang masih dikelola pada 2019.

"Jika kami hanya menghitung kasus baru, ada sekitar 77 kasus pekerja rumah tangga yang diterima oleh Tenaganita pada 2019," katanya.

Glorene mendesak pemerintah untuk mengambil langkah segera untuk memastikan bahwa pekerja rumah tangga diberikan perlindungan hukum yang layak mereka dapatkan sebagai pekerja.

Selain itu agar memungkinkan pembantu rumah tangga memperoleh hak-hak dasar mereka seperti jam kerja yang diatur, upah minimum, perlindungan sosial, kebebasan bergerak, kebebasan berserikat dan akses ke mekanisme pengaduan yang efektif untuk mendapatkan ganti rugi.





 

Pewarta: Agus Setiawan
Editor: Triono Subagyo
Copyright © ANTARA 2019