Jakarta (ANTARA) - Lembaga swadaya masyarakat (LSM) Yayasan Srikandi Lestari mengatakan debit air alami dari Sungai Batang Toru di Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, berkurang diduga imbas dari adanya pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) yang memanfaatkan aliran sungai tersebut.

"Ini sebenarnya salah satu dampak yang tidak terpikirkan. Pastinya ini berpengaruh pada aktivitas masyarakat," kata Direktur Yayasan Srikandi Lestari Mimi Surbakti di Jakarta, Rabu.

Ia menjelaskan dampak negatif dari pembangunan tersebut dirasakan oleh masyarakat di sekitar Batang Toru, terutama yang mengandalkan mata air sungai sebagai kebutuhan atau mata pencarian.

Aliran air dari Sungai Batang Toru tidak hanya digunakan sebagai kebutuhan rumah tangga, melainkan juga untuk sektor pertanian bagi masyarakat setempat.

Ia mencontohkan jika dilakukan sistem buka tutup dengan menahan air dari hulu selama 18 jam, maka aliran sungai ke hilir hanya akan berlangsung selama enam jam per hari.

Baca juga: Ahli: PLTA Batang Toru ancam spesies orangutan

Baca juga: Pengamat: PLTA Batang Toru jangan dibenturkan dengan orang utan

Baca juga: Pengembang PLTA Batang Toru tegaskan komitmen untuk lindungi orangutan


Hal ini berarti debit air alami dari Batang Toru itu sendiri otomatis berkurang, sedangkan kebutuhan masyarakat akan air tetap sama atau tidak berkurang sedikitpun sehingga dinilainya merugikan masyarakat.

Belum lagi, kata dia, pembangunan dam yang dilakukan untuk kebutuhan PLTA juga membutuhkan kajian serius terhadap lingkungan. Terutama jika terjadi bencana alam, salah satunya gempa bumi agar bangunan mampu menahan goncangan.

"Apalagi lokasi dam tersebut berdasarkan analisinya ialah berjarak lima kilometer dari patahan bumi atau jalur merah. Jadi penting untuk melihat kekuatan bangunan itu sendiri," kata dia.

Selain itu, banjir juga menjadi salah satu bencana yang dikhawatirkan terjadi. Sebab, beberapa waktu lalu terjadi banjir sampai ketinggian satu meter di hilir Sungai Batang Toru.

Kemudian dari segi lingkungan, ia menjelaskan daerah selatan dari pembangunan PLTA merupakan lokasi yang menjadi sumber makanan orangutan yang berhabitat di sana.

Pembangunan tersebut menjadikan orangutan harus migrasi ke daerah yang lebih tinggi walaupun diakui sumber makanan di sana sedikit.

"Yang juga ditakutkan ialah terjadinya kepunahan atas orangutan tersebut," ujar dia.*

Baca juga: Tokoh adat serukan merdeka dari intervensi LSM asing soal Batang Toru

Baca juga: Masyarakat adat dukung keberadaan PLTA Batang Toru

Baca juga: Pengamat: realisasi potensi PLTA di Indonesia kurang dari 10 persen

Pewarta: Muhammad Zulfikar
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2020