Bireuen, Aceh (ANTARA) - Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Nasir Djamil meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) transparan dengan merinci 36 kasus yang telah dihentikan pada tahap penyelidikan.

"Pertanyaannya adalah kasus apa saja, artinya KPK juga harus transparan menyampaikan kepada publik ketika kasus dapat dihentikan kenapa?," ucap Nasir di sela-sela acara "Kenduri Kebangkasaan" di Sekolah Sukma Bangsa di Bireuen, Aceh, Sabtu.

Oleh karena itu, kata dia, untuk menghindari pertanyaan masyarakat maka KPK diharapkan bisa menjelaskan secara transparan karena salah satu azas pembentukan KPK adalah transparansi.

"Karena itu sampaikan saja secara terbuka kepada masyarakat Indonesia, kami menghentikan 36 ini karena begini sehingga kemudian tidak ada kecurigaan karena selama ini kan ada kesan bahwa KPK sedang dilemahkan," ucap Nasir.

Selain itu, kata dia, transparansi tersebut diperlukan untuk menghindari kecurigaan bahwa terdapat kasus-kasus besar yang menyangkut figur penting dihentikan penyelidikannya.

"Jangan-jangan ini kasus-kasus yang terkait orang penting di negeri sehingga kemudian dihentikan oleh KPK, intinya keterbukaan saja kepada publik," tuturnya.

Baca juga: KPK: 36 perkara yang dihentikan didominasi kasus suap

Sebelumnya, KPK menyebut kasus-kasus besar yang menyita perhatian publik tidak termasuk dalam 36 kasus yang dihentikan di tahap penyelidikan.

Adapun kasus-kasus besar yang dimaksud tersebut, yakni dugaan korupsi divestasi saham perusahaan tambang PT Newmont Nusa Tenggara, pengadaan "Quay Container Crane" (QCC) di PT Pelindo II.

Selanjutnya, pemberian fasilitas pendanaan jangka pendek (FPJP) kepada Bank Century dan penetapan Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik, pembelian lahan Rumah Sakit Sumber Waras Jakarta Barat, dan penghapusan piutang Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) terhadap Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI).

"Bukan NTB, bukan RJL bukan Century, Sumber Waras, bukan. Pengembangan dari BLBI dan sebagainya, saya kira tidak ada yang berkaitan dengan itu," kata Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri di gedung KPK, Jakarta, Kamis (20/2).

Adapun penghentian 36 kasus tersebut untuk akuntabilitas dan kepastian hukum. Namun, Ali enggan merinci detil kasus-kasus apa saja yang telah dihentikan tersebut.

"Tentunya kami tidak bisa menyampaikan secara rinci 36 itu perkara dugaan atau sprinlidik nomor berapa karena ini proses penyelidikan tentunya di Undang-Undang keterbukaan informasi ada informasi yang dikecualikan dalam proses ini," ujar dia.

Ali menyatakan penghentian perkara di tingkat penyelidikan tersebut bukan praktik baru yang dilakukan saat ini saja di KPK.

"Data lima tahun terakhir sejak 2016, KPK pernah menghentikan penyelidikan sebanyak total 162 kasus," ungkap Ali.

Untuk tahun 2020, jenis penyelidikan yang dihentikan cukup beragam, yaitu terkait dugaan korupsi oleh kepala daerah, BUMN, aparat penegak hukum, kementerian/lembaga, dan DPR/D.

Untuk diketahui, pada Pasal 44 ayat 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi disebut bahwa "Dalam hal penyelidik melakukan tugasnya tidak menemukan bukti permulaan yang cukup sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelidik melaporkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi dan Komisi Pemberantasan Korupsi menghentikan penyelidikan".

Sementara dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Pasal 44 tidak mengalami perubahan.

Baca juga: KPK terkejut pengumuman penghentian 36 perkara hebohkan masyarakat

Baca juga: Pimpinan KPK: Proses penghentian 36 perkara sesuai prosedur

Baca juga: KPK hentikan penyelidikan 36 kasus, Mahfud: Wewenang KPK


 

Pewarta: Benardy Ferdiansyah
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2020