Jakarta (ANTARA) - Kantor akuntan publik dan konsultan perpajakan RSM Indonesia menilai insentif pajak bagi wajib pajak terdampak pandemi COVID-19 yang tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 44 Tahun 2020, efektif bisa meringankan Wajib Pajak (WP) namun juga menyoroti perihal jangka waktu fasilitas tersebut.

"Dalam aturan PMK Nomor 44 disebutkan fasilitas tersebut berlaku untuk masa pajak April-September 2020. Kami berharap akan pendemi ini cepat berlalu, namun demikian pemulihan ekonomi tidak diantisipasi akan kembali normal dalam hanya enam bulan," kata Managing Partner Tax RSM Indonesia Ichwan Sukardi dalam keterangannya di Jakarta, Selasa.

Ia menyatakan beberapa pihak mengusulkan tambahan waktu fasilitas tersebut, paling tidak untuk jangka waktu enam bulan lagi. Selain itu, ada beberapa sektor lain yang juga yang belum mendapatkan fasilitas insentif.

Baca juga: Sri Mulyani: Insentif pajak untuk dunia usaha capai Rp123,01 triliun

Insentif perpajakan yang diberikan oleh pemerintah bagi WP yang terdampak wabah COVID-19 terdapat dalam dua peraturan utama.

Pertama, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No.1 Tahun 2020 (PERPPU-1) tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi COVID-19 dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Stabilitas Sitem Keuangan.

Ada empat poin yang berhubungan dengan perpajakan. Poin pertama, penurunan tarif PPh Badan dari 25 persen menjadi 22 persen untuk tahun pajak 2020 dan 2021, dan menjadi 20 persen untuk tahun pajak 2022 dan seterusnya.

Menurut Ichwan, penurunan PPh Badan itu sudah diusulkan menjadi bagian dari Omnibus Tax Law, namun dirasa perlu untuk dipercepat guna memberikan insentif bagi wajib pajak.

"Penurunan tarif pajak sudah menjadi tren di regional dan memang Indonesia harus berkompetisi menawarkan skema perpajakan yang lebih menarik bagi investasi asing, salah satunya adalah tarif pajak yang kompetitif dibanding dengan negara tetangga," katanya.

Baca juga: Kemenkeu beri 193.151 wajib pajak insentif PPh, 22.014 WP ditolak

Poin kedua, Perlakuan Perpajakan Dalam Kegiatan Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE), biasanya dikenal dengan sebutan Perlakuan Perpajakan atas Transaksi e-commerce.

Pemerintah melalui PERPPU-1 menetapkan pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh) bagi pelaku PMSE yang terdiri dari pedagang luar negeri, penyedia jasa luar negeri, penyelenggara PMSE luar negeri, dan penyelenggara PMSE dalam negeri yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan.

PMSE akan dikenakan PPN, di mana PPN dipungut, disetor dan dilaporkan oleh keempat pelaku PMSE tersebut. Sedangkan pengenaan PPh akan dilakukan melalui tes apakah ada kehadiran ekonomi signifikan yang akan diukur melalui beberapa parameter seperti peredaran bruto group, jumlah penjualan di Indonesia, dan pengguna aktif media digital di Indonesia.

Pengenaan pajak atas PMSE tersebut akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) dan juga Peraturan Pemerintah (PP).

Ia menilai pemajakan atas transaksi e-commerce dari wajib pajak luar negeri (WPDN) bukan hanya menjadi masalah di Indonesia, namun juga diseluruh dunia. Negara-negara OECD melalui inisiatif Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) sudah meluncurkan usulan untuk melakukan terobosan pengenaan pajak atas transaksi ini yang disebut BEPS Action 1 – Taxation of Digital Economy.

Negara-negara lain seperti Australia, Inggris, India dan Jepang sudah lebih dahulu melakukan pengenaan pajak atas transaksi ini dengan berbagai macam cara. Namun demikian, BEPS action 1 ini masih menjadi perdebatan tetapi diharapkan akan mencapai konsensus global di akhir 2020 ini. Diharapkan dicapai konsensus bagaimana pengenaan pajak atas transaksi digital atau e-commerce ini.

"Pemerintah Indonesia, dengan merujuk kepada kasus pajak atas perusahaan e-commerce sebelumnya, melihat ada potensi penerimaan yang cukup signifikan dan diharapkan dapat menjadi potensi penerimaan pajak menggantikan sektor lain yang terimbas COVID-19. Namun demikian, untuk pengenaan PPh, tampaknya Indonesia memang harus masih menunggu bagaimana hasil konsensus global diakhir 2020 ini," ujar Ichwan.

Poin ketiga, perpanjangan waktu dalam pelaksanaan pemenuhan kewajiban perpajakan. Dalam hal ini insentif diberikan baik bagi wajib pajak dan juga bagi Direktorat Jenderal Pajak.

Ia menyatakan pada masa terjadinya pembatasan kegiatan, bisa berdampak sulitnya memenuhi tenggat waktu pemenuhan kewajiban perpajakan seperti penyampaian surat keberatan. PERPPU-1 ini memberikan tambahan waktu bagi wajib pajak.

Hal ini tentu sangat membantu wajib pajak untuk mempersiapkan segalanya di waktu yang lebih baik setelah wabah berkurang atau berlalu. Penambahan waktu ini dihitung dari penetapan BNPB mengenai keadaan kahar.

Poin keempat, pemberian kewenangan bagi menteri keuangan untuk memberikan pembebasan atau keringanan bea masuk bagi importasi barang untuk kepentingan penanganan COVID-19 dan juga untuk penganganan ancaman yang membahayakan sistem keuangan.

Ichwan menjelaskan, untuk mempercepat proses penanganan ini, memang diperlukan kewenangan kepada menteri keuangan agar proses persetujuan menjadi lebih cepat. Sebelumnya, hal ini harus diatur dalam Undang-undang.

Peraturan utama yang kedua yaitu Peraturan Menteri Keuangan No. 44/PMK/03/2020 (PMK 44) yang mengatur insentif pajak dalam beberapa bentuk, yakni :

PMK 44 yang merupakan revisi dari PMK 23 yang juga memberikan fasilitas yang sama namun dengan pertimbangan dampak dan juga masukan dari pelaku industri dan masyarakat, perlu perluasan sektor yang mendapatkan insentif perpajakan tersebut.

"Pemerintah perlu juga melihat sektor-sektor terdampak lainnya yang belum tercakup dalam PMK 44, meskipun saat ini cakupan sektor sudah diperluas dibandingkan dalam PMK 23. Diyakini, dampak COVID-19 ini mencakup hampir semua sektor dan lini bisnis," ujar Ichwan.

Pewarta: Citro Atmoko
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2020