Tanjung Selor (ANTARA) - Di antara kerimbunan mangrove terlihat sejumlah orang bergegas turun dari speedboat baru tiba di sungai kecil yang tepat menghadap Tawau, Sabah, Malaysia.

Aktifitas yang tak jauh dari Pos Tapal Batas 3 Aji Kuning Sebatik, Nunukan, Kalimantan Utara (Kaltara), itu adalah kegiatan masuk secara ilegal dari Malaysia. Jalur ini yang dikenal sebagai "jalan tikus".

Panjang wilayah perbatasan di Kaltara mencapai 1.098 Km melintasi Kabupaten Nunukan dan Kabupaten Malinau atau setara Jalan Anyer-Panarukan membentang dari ujung barat sampai ujung timur Jawa.

Sepanjang perbatasan itu diperkirakan ada 14.000 jalan tikus. Jangan membayangkan batas negara itu terpisahkan oleh pagar tembok atau berduri.

Pemisah negara tersebut hanya garis imajiner terhubung oleh 19 patok tapal batas (17 di darat dan dua di air, salah satunya di suar Karang Unarang).

Selain 19 patok tapal itu maka batas-batas wilayah oleh warga setempat ditandai dengan bentang alam, gunung, ngarai, sungai, sempadan jalan, dan sawah.

Secara umum, Kaltara memiliki sejumlah "pintu" terdiri 188 pesisir, 13 pelabuhan, lima bandara, 16 pegunungan, dan empat sungai.

Keberadaan 14.000 jalan tikus itu akibat kelemahan infrastruktur, minimnya sarana perhubungan dan keterbatasan aparat keamanan.

Dari sejumlah jalan tikus itu sebagian berada di Pulau Sebatik baik melalui perairan maupun daratan. Khusus perairan, hanya satu pintu resmi di Sebatik, Nunukan ke Tawau, Malaysia, yakni Pelabuhan Tanon Taka.

Pulau Sebatik terbelah menjadi dua zona teritorial, yakni sebelah utara 187,23 km persegi milik Malaysia. Sedangkan 246,61 km persegi yang dimiliki oleh Indonesia.

Sebagian wilayah Sebatik Malaysia jadi areal perkebunan sawit, sedangkan wilayah Indonesia jadi pemukiman warga.

Berbagai kelemahan itu (infrastruktur, sarana perhubungan dan personil) menyebabkan Kaltara rawan terhadap aksi kejahatan, antara lain TKI ilegal, pencurian ikan, penyelundupan, peredaran narkoba, dan terorisme.

Baca juga: Ketua RT di perbatasan Kaltara-Malaysia diimbau aktif antisipasi masuknya radikalisme, terorisme

Potensi terorisme Kaltara

Hasil survei BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) bersama The Nusa Institute dan Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) menunjukkan potensi radikalisme Kaltara cukup tinggi.

Dari hasil survei dirilis pada 27 November 2017, Kaltara berada di urutan kelima daerah di Indonesia yang potensi aksi radikalisme. Potensi radikalisme dan terorisme Kaltara itu diakui Gubernur Kalimantan Utara Irianto Lambrie.

Saat diminta tanggapannya baru-baru ini, Irianto menjelaskan salah satu penyebabnya karena letak geografis yang berbatasan dengan sejumlah negara, seperti Malaysia dan Filipina.

Kaltara menjadi salah satu tempat persinggahan pelaku terorisme di Indonesia. Jalan masuknya melalui jalur laut dari Kepulauan Mindanao, Filipina, lalu ke wilayah Sabah, Malaysia, dan menyusup ke Indonesia lewat Kaltara.

Setelah lolos ke Kaltara, pelaku terorisme menuju ke Poso, Sulawesi Tengah.

Dari kasus yang dilaporkan, awalnya Kaltara hanya jalur persinggahan.

Termasuk pengakuan seorang tersangka terorisme yang ditangkap di Pulau Jawa masuk melalui Sungai Nyamuk, Sebatik, pada 1996.

Perkembangannya, sesuai data FKPT Kaltara bukan sekedar persinggahan. Belum lama ini, aparat tengah memantau indikasi masuknya teroris di Kabupaten Tana Tidung (KTT).

FKPT Kaltara menerima laporan pergerakan menjurus radikalisme di salah satu kampus di Kaltara yang diprakarsai salah satu dosennya.

Lebih dari pada itu, ternyata Kaltara bukan sekedar jalur senyap bagi aktivitas terorisme namun berpotensi jadi daerah target dari aksi teroris.

Potensi Kaltara menjadi target meningkat sejak diumumkan Kalimantan Timur sebagai ibu kota negara.

Sejak Presiden Jokowi pada 26 Agustus 2019 mengumumkan Kaltim sebagai ibu kota negara, maka otomatis Kaltara jadi daerah penyangga.

Potensi Kaltara jadi target terorisme karena jadi daerah penyangga ibu kota negara sebelumnya diungkap juga oleh Usman Fagih yang saat itu sebagai Ketua FKPT Kalimantan Utara.

Hal itu diutarakan dalam rapat monitoring pelibatan masyarakat dalam penangan terorisme Kaltara akhir 2019. Dalam dunia intelijen, kegiatan terorisme di Kaltara selama ini sebatas gerakan senyap, yakni hadir bukan untuk menarik perhatian.

Berbeda dengan daerah target serangan seperti Jakarta atau Bali, namun, dengan status Kaltara sebagai daerah penyangga ibu kota negara maka berpotensi jadi target.

Baca juga: Kalimantan Utara khawatir jadi tempat sembunyi teroris

Suara warga perbatasan

Mengatasi berbagai kerawanan perbatasan, maka pembenahan infrastruktur menjadi hal yang sering mendapat sorotan.

Tokoh masyarakat Sebatik Muhammad Nurdin yang akrab dipanggil Bang Buaya menilai pemerintah harus fokus membenahi infrastruktur perhubungan. Pasalnya, kelemahan infrastruktur perhubungan menjadi hambatan utama pengawasan, termasuk memantau jalan tikus.

Meski bidang lain juga tidak boleh ditinggalkan khususnya ekonomi dan pendidikan. Lemahnya sektor pendidikan bisa menjadi pintu masuk berkembang paham radikalisme dan terorisme.

Banyak anak-anak TKI ternyata tidak mendapat pendidikan yang layak, baik yang dititip dengan keluarga di Sebatik atau yang diajak ke lokasi perkebunan di Sabah.

Dari sisi ekonomi, kemiskinan membuat orang mudah melakukan berbagai tindak kejahatan. Pameo warga setempat "Garuda di dadaku, dan Ringgit di perutku" adalah cerminan nyata tentang adanya masalah ekonomi dan kesenjangan sosial di beranda negara itu.

Jika berdiri di ujung Pulau Sebatik Indonesia maka terlihat gemerlap terang lampu dari gedung-gedung perkantoran, toko dan apartemen di Tawau.

Suasana itu berbanding terbalik dengan wilayah Indonesia di perbatasan.

Sebenarnya upaya membangun pulau terluar di wilayah utara Kalimantan ini sudah dilakukan sejak Pemerintahan Orde Baru.

Berbagai rencana pengembangan perbatasan sudah dianggap sangat feasible saat dilakukan studi kelayakan oleh Bappenas (Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional).

Mulai dari rencana pengembangan ekonomi terpadu "kawasan berikat" saat Orde Baru hingga pembentukan Badan Otoritas Khusus Sebatik (seperti pengelolaan ekonomi Batam) era Presiden BJ Habibie.

Sayangnya, berbagai rencana pengembangan studi kelayakan tak pernah direalisasikan.

Padahal, pembangunan perbatasan bukan hanya strategis dalam mendukung pengawasan, juga terkait keberadaan wilayah sebagai "etalase" atau beranda negara.

Ditambah lagi status sebagai daerah penyangga IKN.

Era Pemerintahan Jokowi ada beberapa langkah mulai terlihat, antara lain pembenahan jalan perbatasan di Krayan serta harga BBM satu harga.

Berbagai program pembangunan wilayah perbatasan memang belum terlihat signifikan karena daerah yang harus dibenahi begitu luas serta jumlah penduduk yang sangat tipis.

Luas Kaltara adalah 75.000 Km (hampir seluas Jawa Timur dan Jawa Barat) dengan penduduk hanya sekitar 700.000 jiwa.

Baca juga: FKPT Kaltara monitor indikasi terorisme masuk KTT

Peran media lokal

Pengamat perbatasan Prof. Dr. Drs. Adri Patton, M.Si menilai pengembangan sumber daya manusia (SDM) sangat strategis menangkal radikalisme dan terorisme.

Andri Patton yang juga Rektor Univesitas Borneo Tarakan memaparkan radikalisme adalah embrio lahirnya terorisme. Radikalisme terjadi karena beberapa faktor, antara lain pemikiran, ekonomi, politik, sosial, pendidikan dan psikologi sehingga perlu upaya serius memajukan dunia pendidikan sebagai bagian dalam pengembangan SDM warga perbatasan.

Selain itu, literasi digital dinilainya juga strategis dalam menangkal radikalisme dan terorisme di perbatasan, khususnya dalam menangkal berita hoaks, fake news dan ujaran kebencian.

Berdasar data Dewan Pers dari 34.000 media daring (online) baru 200 yang terferifikasi atau kontennya bisa dipertanggungjawabkan.

Di era digitalisasi ini, faktanya warga di perbatasan lebih mudah mendapat informasi dari media daring atau medsos ketimbang media cetak dan media elektronik.

Di perbatasan masih banyak daerah yang blank spot untuk bisa menangkap siaran berita televisi atau radio milik Indonesia.

Selain peran pemerintah untuk selalu mengawasi dan memblokir konten berbahaya, juga literasi media dianggap strategis dalam menangkal radikalisme dan terorisme.

Literasi tentang radikalisme dan terorisme dengan melibatkan media digital lokal dianggap strategis dalam melawan konten negatif, hoaks, fake news dan ujaran kebencian.

Peran media digital lokal juga diharapkan berperan dalam menumbuhkan nasionalisme dan patriotisme sehingga warga perbatasan tak ragu berkata "Garuda (tetap) di dadaku".
 

Copyright © ANTARA 2020