Jakarta (ANTARA) - Pengasuh Pondok Pesantren (Ponpes) Modern Bayt Quran Dr Syarullah Iskandar MA mengatakan bahwa saat ini perlu diwaspadai pihak-pihak yang memunculkan istilah "kembali ke Al Qur’an dan Hadist", namun kelompok ini sedang berupaya memutus sejarah keilmuan atau silsilah keilmuan agama Islam yang sudah terbangun selama ini.

"Mereka mengatakan ‘oh tidak usah kita mengikuti mahzab ini, mahzab itu’ yang sebenarnya secara tidak langsung mereka justru sedang membangun mahzab baru, dan itu bahaya. Mereka berupaya dan memaksa diri untuk mandiri dalam memahami atau menggali teks-teks keagamaan, padahal pemahaman dan dasar keilmuannya tidak memadai," kata Syarullah Iskandar dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Jumat.

Menurut dia, untuk memahami dan menggali teks-teks keagamaan itu perlu pendampingan oleh orang yang berkompeten untuk terus berguru.

Dia menuturkan, makanya dalam agama itu sebenarnya adalah fas`alu ahla adz-dzikri “bergurulah kepada yang ahlinya”. Karena kalau memahami Al Qur’an, misalnya hanya satu (1) ayat saja yang dipahami dan tidak dikaitkan dengan ayat yang lain, tentunya pasti ada yang kurang mengena pemahamannya.

Baca juga: KH Muflich: Moderasi agama sebagai upaya hargai perbedaan

Baca juga: Bupati Aceh Barat: Umat Islam jangan mau diadu domba terkait agama


“Hadis pun demikian. Karena mereka itu parsial ketika membaca sesuatu, tidak universal. Istilahnya kacamata kuda. Karena sumber mereka terbatas sesuai doktrin dari para gurunya dan tidak mencoba menelaah dari sumber-sumber lain,” tutur pria yang juga Dosen Fakultas Sosiologi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta itu.

Syarullah mengungkapkan bahwa selama dirinya menjadi narasumber dalam program deradikalisasi di Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) ia menyadari bahwa mereka yang telah terpapar paham radikal terorisme itu karena dulunya mereka dicekoki doktrin begitu saja tanpa melakukan tabayyun atau meneliti terlebih dahulu.

Peraih gelar doktoral dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini menerangkan bahwa menyadarkan orang karena pernah terlibat maupun terpapar paham radikal terorisme memang tidak harus diukur dengan cepat karena prosesnya lama karena menyangkut ideologi.

Jika berbicara , katanya, ibaratnya punya 1.000 nyawa, dimana mati satu nyawa masih ada 999 nyawa lagi.

“Jadi seperti kanker. Itu memang agak memakan waktu (untuk mengatasinya). Harus berkelanjutan, terencana dengan baik, sistematis dan tepat sasaran. Saya kira itu yang harus dipadukan ketika menyusun program. Karena paham radikal terorisme di Indonesia bagaimanapun tetap ada karena paham ini memang karena jaringan, bukan berarti satu orang ditangkap lalu sudah selesai,” ucap pria yang juga Sekretaris Umum The Nusa Institute itu.

Syarullah juga menyarankan adanya upaya pencerahan kepada masyarakat untuk mencegah dan melindungi dari paham tersebut.

Ia mengajak para penceramah untuk menggunakan metode yang lebih ramah (friendly) dalam menyampaikan dakwah agar lebih mudah ditangkap dan dicerna oleh nalar masyarakat dan kaum milenial.*

Baca juga: Tak elok Kemenag kritisi dangkalnya pemahaman kitab suci tanpa solusi

Baca juga: PPP anggap PSI gagal paham tolak UU bernuansa agama

Pewarta: Joko Susilo
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2020