Jakarta (ANTARA) - Proses adaptasi dalam menjalani tatanan kehidupan baru akibat pandemi COVID-19, dapat membuat banyak individu dihinggapi rasa cemas.

Hampir sebagian besar aktivitas mengalami perubahan. Seluruh keluarga berada di rumah sepanjang hari, jadwal kerja dan sekolah yang berubah.

Kondisi tersebut disinyalir dapat meningkatkan rasa cemas yang akhirnya dapat meningkatkan stres. Stres juga dapat membuat seseorang menjauhi kebiasaan makan yang sehat dan pada akhirnya berdampak kurang baik pada tubuh.

Direktur Senior Pendidikan Nutrisi dan Pelatihan Herbalife Susan Bowerman mengatakan respons alami tubuh terhadap stres membuat seseorang menjadi lebih "aktif" dan waspada.

"Akan tetapi jika respons terhadap stres diaktifkan secara terus menerus maka akan dapat membebani kekebalan tubuh, sehingga lebih sulit bagi tubuh untuk menangkal penyakit," katanya.

Sistem kekebalan tubuh yang baik bergantung pada pola makan yang kaya nutrisi, maka perlu upaya menjamin terpenuhinya kecukupan nutrisi tubuh menjadi salah satu pertahanan terbaik melawan penyakit, terutama menghadapi masa-masa ketidakpastian seperti saat ini.

Susan mengakui bahwa hal itu memang lebih mudah untuk diucapkan dibanding dilakukan.

"Karena stres juga dapat menyebabkan kelelahan dan depresi. Jika demikian pelarian yang mudah adalah dengan makan," ujar dia.

Dia menjelaskan jika perubahan itu terjadi dengan mengonsumsi kafein untuk menangkal kelelahan, maka hal itu juga bisa menjadi bumerang, dengan mengganggu tidur.

Sementara, jika makanan yang dikonsumsi berkalori tinggi, maka dapat menstimulasi pelepasan zat kimia tertentu di otak yang membuat seseorang merasa lebih baik.

"Setidaknya itu terjadi untuk jangka pendek dan membuat kita ingin makan terus. Perlu diingat makan berlebihan dapat menyebabkan pertambahan berat badan yang dapat berujung pada tekanan psikologis dan berakhir dengan makan lebih banyak," ujar dia.

Untuk merespons stres pada tubuh, maka perlu dilakukan sejumlah upaya. Pertama, makanlah makanan yang seimbang. Kedua, makan secara teratur dan jangan melewatkan waktu makan.

"Saat stres, mudah untuk menunda makan atau bahkan melewatkannya. Akibatnya, tingkat energi akan menurun, dan mungkin akan berhenti makan saat akhirnya memakan makanan ringan," katanya.

Oleh karena itu, cobalah makan makanan dalam jumlah sedikit lebih sering sepanjang hari. Ketiga, hindari makan sebagai pereda stres. Hal itu dapat dilakukan dengan jalan cepat atau secangkir teh herbal dapat membantu mengurangi stres.

Keempat, kurangi kafein karena orang sering merasa kurang energi saat stres maka beralih mengonsumsi kafein untuk megembalikan "mood", tetapi hal itu dapat mengganggu tidur malam.

Terakhir, usahakan pisah waktu makan dengan waktu pekerjaan atau sumber stres lainnya.

"Jika anda makan di meja saat bekerja, atau makan malam dan memikirkan tanggung jawab lain, maka coba luangkan waktu ekstra untuk memperlambat dan bersantai saat makan. Dengan begitu, akan cenderung makan lebih sedikit dan menikmati waktu makan," kata dia.


Serangan jantung

Ahli penyakit jantung dari Rumah Sakit Siloam Kebon Jeruk dr Antono Sutandar SpJP-K mengatakan stres dapat mengakibatkan seseorang menderita serangan jantung.

Terdapat sembilan faktor penyebab risiko serangan jantung, yakni rokok, hipertensi, kolestrol, kegemukan, diabetes, stres, alkohol, kurang olahraga, kurang makan sayur dan buah.

"Kalau dulu paling banyak disebabkan rokok, tekanan darah tinggi dan alkohol, namun stres juga menjadi penyebab utama serangan jantung," kata Antono.

Antono menjelaskan pada tahun ini, cenderung banyak yang mengalami stres akibat pandemi COVID-19. Selain karena bahaya COVID-19 yang mengancam jiwa, juga himpitan hidup yang semakin berat karena banyak pekerja yang dirumahkan. Kondisi stres itu diperparah dengan pola hidup yang tidak sehat.

Antono menyarankan masyarakat untuk dapat mengelola stres saat pandemi, olahraga teratur dan berhenti merokok.


Perbedaan sesak nafas

Antono menjelaskan terdapat perbedaan sesak nafas antara pasien COVID-19 dan gangguan jantung.

Jika sesak nafas akibat COVID-19, maka didahului demam tinggi, keluhan pada saluran pernafasan atas, seperti batuk, pilek, dan lainnya.

"Gejala yang dialami pasien COVID-19 tidak membatasi aktivitas fungsional, sehingga masih bisa melakukan berbagai kegiatan sama halnya saat mengalami flu," kata dia.

Sedangkan sesak nafas akibat gangguan jantung biasanya terjadi pada saluran bagian bawah, terutama paru-paru.

Hal itu disebabkan saat jantung terganggu, maka cairan akan terkumpul di paru-paru.

"Jika beraktivitas maka akan bertambah berat sesaknya," ujarnya.

Bagi yang memiliki riwayat sakit jantung, Antono menyarankan agar rajin melakukan kontrol di rumah sakit. Saat ini, rumah sakit menerapkan standar protokol kesehatan ketat dengan mewajibkan tes cepat. Sementara bagi pasien yang akan dioperasi harus mengikuti tes usap.

Sementara itu, ahli penyakit jantung lainnya dari RS Siloam Kebon Jeruk dr Maizul Anwar SpBTKV mengatakan pandemi COVID-19 membuat banyak penderita gangguan jantung yang takut ke rumah sakit. Padahal penyakit tersebut sangat berisiko.

Maizul meminta agar penderita gangguan jantung tidak menunda untuk mendapatkan layanan medis. Jika pasien tersebut diharuskan mendapatkan layanan operasi, maka harus mengikuti tes usap dan karantina. Jika terinfeksi COVID-19, maka operasi ditunda sampai yang bersangkutan sembuh.

Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2020