Samo, Maluku Utara (ANTARA) - Sekilas memang tidak ada yang berbeda dari pemukiman penduduk di pesisir pulau mungil bernama Sali Kecil, yang letaknya diapit oleh Pulau Bacan di sisi barat dan Pulau Halmahera di sebelah timur, jika dilihat dari perairan. 

Namun begitu kaki melangkah di atas dermaga kayu yang sekaligus menjadi akses menuju gerbang utama Desa Sali Kecil yang berada di Halmahera Selatan, Maluku Utara, satu per satu keelokan dan keunikannya akan kuak. 

Berjalan perlahan di atas jeti kayu mendekati gerbang utama desa, pengunjung akan disambut oleh ikan-ikan mungil nan cantik yang meliuk lincah berenang di sela-sela terumbu karang yang juga berwarna-warni. 

Baca juga: Masyarakat Samo kembalikan pangan lokal lewat festival rakyat

Air laut yang begitu jernih membuat ikan-ikan tropis itu tidak dapat bersembunyi dari mata para pengunjung yang baru menginjakkan kaki di pulau mungil itu. Jauh di belakang gerbang desa dan pemukiman penduduk, hamparan hutan terlihat membentang ditambah suara burung yang samar terdengar dari kejauhan.

Namun, menurut Ibrahim Nasir, salah seorang warga Desa Sali Kecil yang ikut menerima ANTARA dan lainnya yang mengikuti Ekspedisi Maluku EcoNusa pada Senin (26/10), terumbu karang yang sehat dan ragam ikan tropis yang berenang di dalamnya bukanlah hal yang unik bagi mereka. Itu berkat warga desa yang semakin sadar pentingnya menjaga lingkungan sehingga membuat sampah semakin berkurang diperairan mereka.

Masyarakat mengikuti anjuran dari pemerintah daerah, dalam hal ini Dinas Perikanan sempat yang meminta mereka untuk menjaga dan melindungi terumbu karang karena menjadi salah satu potensi yang dimiliki oleh Sali Kecil. 

Keindahan Pulau Sali Kecil tidak diragukan. Tidak heran jika resort bintang empat ikut beroperasi di sana, mengingat kepulauan di sana termasuk menjadi surga bawah laut bagi para penyelam. 

"Ada masyarakat juga yang sudah memahami itu, makanya kitong (kita) sama-sama saling jaga," ujar Ibrahim yang berprofesi sebagai nelayan. 

Baca juga: Potensi Bahari-Sosbud Kei Besar digali melalui Ekspedisi Zooxanthellae

Tidak hanya berusaha mengurangi sampah yang dibuang ke laut, mereka juga sudah mulai melarang penangkapan ikan memakai alat tangkap yang dapat merusak terumbu karang seperti bom dan pukat ikan. 

Kesadaran masyarakat di sana memang bukan turun dari langit, membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Dulu banyak nelayan memakai pukat untuk menangkap ikan, tapi kini sudah mulai banyak nelayan lokal yang meninggalkan praktik yang tidak bersahabat bagi lingkungan itu, kata Ibrahim. 

Hasilnya, kekayaan laut Sali Kecil menjadi terjaga, bahkan menjadi anugerah bagi nelayan lain dari sekitar pulau.

"Semua jenis ikan ada di Sali, makanya semua nelayan dari Ternate, dari Bacan, mereka ke sini, karena di sini bisa dibilang kayak pusat ikan. Semua jenis ikan ada di sini, di Sali ini," ujar Ibrahim.

Untuk menjaga agar aktivitas penangkapan tidak membuat stok ikan di daerah itu berkurang, Ibrahim mengatakan nelayan lokal biasanya memiliki perencanaan sendiri saat melaut. Biasanya dalam sebulan dua kali mereka memancing di lokasi yang ditentukan, sebelum berpindah ke lokasi lainnya dan melakukan pola yang sama. 
Baca juga: GDN Bersiap Jelajahi Delapan Pulau Terdepan Maluku

Hutan hijau

Sali Kecil bukan hanya laut. Ada juga hutan hijau membentang dan menjadi rumah bagi burung dan rusa liar yang hidup berdampingan dengan masyarakat sejak lama. 

Penampakan rusa yang turun ke pesisir dan meminum air laut menjelang matahari terbenam bukanlah hal aneh bagi penduduk Desa Sali Kecil. Namun bagi mereka yang baru berkunjung ke pulau tentu itu pemandangan unik. 

Warga desa setempat masih berburu rusa, namun biasanya mereka meminta izin dulu pada tetua Desa Sali Kecil. Dengan meminta izin terlebih dulu mereka percaya akan lebih mudah mendapat buruan. 

Namun kini posisi tetua masyarakat Desa Sali Kecil sedang kosong. Sebagai gantinya, menurut Ibrahim, mereka meminta izin kepada penjaga makam keramat yang dipercaya masyarakat desa merupakan tempat peristirahatan terakhir nenek moyang mereka di dipercayai datang dari Tidore. 

Tidak hanya itu, masyarakat juga membatasi lahan yang dibuka untuk menjadi perkebunan. Terdapat beberapa bagian hutan di Sali Kecil yang tidak dapat dijadikan perkebunan untuk menanam kelapa, yang menjadi komoditas utama untuk menghasilkan kopra. 

Pembatasan itu, menurut Ibrahim, dilakukan karena sudah banyak lahan yang dibuka oleh generasi sebelumnya dan masih bisa digunakan sampai sekarang.
Baca juga: Ratusan ikan mati mendadak di perairan Maluku Utara

Keterbatasan

Dengan sumber daya alam dan ekosistem yang masih terjaga tentu menjadi berkah tersendiri bagi masyarakat Desa Sali Kecil. Itu lah sumber kesejahteraan mereka. 

Namun sama seperti desa-desa kecil lain di Indonesia, meskipun kaya akan sumber daya alam dan ekosistemnya masih terjaga, mereka tetap menanti bantuan dari negara untuk menjalankan kehidupan mereka dengan rasa aman dan damai. 

Terbatasnya transportasi di lokasi itu menimbulkan kesulitan bagi masyarakat yang tinggal di sana. Salah satu permasalahan yang timbul adalah ketika masyarakat mengalami gangguan kesehatan akut, sementara di Puskesmas Sali Keci hanya ada satu petugas kesehatan berprofesi sebagai bidan.  

Padahal sering kali masyarakat desa membutuhkan bantuan medis yang mendesak. Untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang dibutuhkan mereka harus menyeberang dengan perahu ke pulau besar terdekat yaitu Pulau Bacan. 

Hamid Baca, salah satu tokoh masyarakat di Sali Kecil mengatakan ketika ada warga desa harus melahirkan di tengah malam mereka harus membawa ketinting ke Bacan. Terkadang bidan yang harus membawa sendiri pasien ke Kecamatan Bacan Timur dengan perahunya yang memang lebih cepat melaju dibandingkan milik warga lainnya. 

"Terpaksa musti berangkat dengan perahu yang kecil-kecil itu," kata Hamid. 

Baca juga: Ambon "demam" batu bacan

Padahal, menuju ke Bacan menggunakan ketinting membutuhkan sekitar tiga jam. Sementara jika menggunakan kapal cepat membutuhkan waktu hingga satu jam, ujar Hamid. 

Transportasi memang juga menjadi persoalan bagi anak sekolah di sana. Itu karena Sali Kecil hanya memiliki satu sekolah dasar, sehingga anak-anak Desa Sali Kecil harus menyeberang pulau untuk mendapat pendidikan lebih tinggi.

Bahkan saat ini bangunan SD yang berada di pulau itu masih dalam tahap perbaikan setelah rusak karena gempa yang mengguncang daerah Halmahera Selatan pada 2019. Meski beberapa bagian bangunan sekolah tersebut masih berlubang, guru-guru di sana memutuskan untuk melakukan kegiatan belajar mengajar tatap muka karena memang pulau kecil itu termasuk zona hijau COVID-19 di Maluku Utara. 

Untuk memajukan ekonomi mereka pun terkendala dengan jarak yang jauh dengan pusat pemerintahan Kabupaten Halmahera Selatan. 

"Kita di pulau-pulau yang terpencil ini punya urusan ekonomi harus ke kabupaten, jauh. Di situ kita butuh bantuan pemerintah bagaimana supaya kita punya jangkauan pengurusan ekonomi ke kabupaten itu lebih cepat, apalagi orang sakit. Kita setengah mati kalau butuh rumah sakit," ujar Hamid. 

Di tengah segala permasalahan tersebut, Hamid berharap pesan dari pulau-pulau kecil seperti Sali Kecil dapat tersampaikan kepada otoritas terkait untuk dapat membantu mereka yang bertahan menjaga alam di tengah keterbatasan. 
Baca juga: EcoNusa dorong gerakan penyelamatan lingkungan mewabah di masyarakat
 

Editor: Virna P Setyorini
Copyright © ANTARA 2020