Belum hilang rasa duka karena kehilangan ibunya, gadis berusia 10 tahun itu harus menghadapi kenyataan lain. Dia juga terkonfirmasi COVID-19.
Jakarta (ANTARA) - Sosok kecil berkerudung hitam itu duduk di bangku besi, tangannya melambai ke arah para wartawan untuk memberikan salam. Wajahnya tidak terlihat seluruhnya karena tertutup masker, tapi matanya melengkung menandakan usahanya memberikan senyum.

Anak itu duduk sendirian, tidak ada sosok lain yang menemani di sampingnya. Sesekali matanya menatap nanar ke depan, entah apa yang ada di dalam pikirannya.

Gadis kecil itu adalah Aisyah Alusa, seorang pasien COVID-19 yang tengah menjalani isolasi di Rumah Lawan COVID-19 Serpong, Tangerang Selatan di Banten setelah terpapar penyakit yang menyerang pernapasan itu.

Di tempat isolasi untuk pasien COVID-19 itu Aisyah sendirian, tidak ada orang tua yang menemaninya karena ibunya yang selama ini menjadi orang tua tunggal telah berpulang pada 16 Januari 2021 setelah terkonfirmasi COVID-19.

Belum hilang rasa duka karena kehilangan ibunya, gadis berusia 10 tahun itu harus menghadapi kenyataan lain. Dia juga terkonfirmasi COVID-19.

Siswa kelas 4 di sebuah sekolah dasar di Kota Tangerang Selatan, Provinsi Banten itu kemudian langsung dibawa ke Rumah Lawan COVID di Serpong.

Selang beberapa hari setelah kematian ibunya, kisahnya viral baik di media massa maupun media sosial. Kisah pilunya dibaca banyak orang, menjadi air dingin yang menyadarkan bahwa COVID-19 bukanlah hoaks dan sekedar penyakit yang akan hilang tanpa tindakan pencegahan nyata.

Aisyah saat ini masih menjalani isolasi, kondisinya stabil dan dia sudah beraktivitas kembali meski harus tetap ketat menjalankan protokol kesehatan memakai masker, menjaga jarak dan mencuci tangan (3M).

Dia juga sudah mulai menjalani pembelajaran jarak jauh lagi, meski menurutnya belajar via daring atau online "tidak asyik" dibandingkan ketika bersekolah tatap muka.

"Bosan, tidak ada temannya," kata Aisyah ketika dihubungi oleh ANTARA lewat sambungan telepon pada Rabu (20/1).

Dia tidak mengalami kesulitan dalam proses belajar menggunakan ponsel, yang dilakukan setiap pukul 08.00 WIB sampai 09.00 WIB. Tapi diakui gadis yang memiliki hobi karate itu bahwa prosesnya terasa lebih berat karena belajar online membuat tugas yang diberikan lebih banyak.

Meski tidak merasakan tantangan berarti, namun ada satu perbedaan nyata dirasakannya. Tidak ada lagi orang yang menjadi sumber pemecah masalahnya ketika buntu dalam belajar.

"Biasanya sih sama mama. Sekarang nanyanya (sama) Google," katanya.

Proses belajar sendiri tetap dilakukannya demi mencapai cita-citanya menjadi seorang dokter gigi, yang ingin dicapainya karena profesi itu dianggapnya "keren".

Meski sudah mulai aktif mengikuti proses belajar jarak jauh, Aisyah tetap harus mengikuti rutinitas bagi pasien terkonfirmasi COVID-19 yang harus menjaga kondisi imun tubuh.

Kesehariannya dimulai dari dengan salat setelah bangun tidur, keluar untuk berolahraga, mengonsumsi vitamin tiga kali sehari dan beristirahat.

Hal itu dia lakukan agar dapat pulih dan dapat keluar dari rumah isolasi, meski masih membawa duka karena kepergian ibunda.


Bukan statistik

Pada pertengahan Januari 2020, tepatnya 13 Januari 2020, Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) mengonfirmasi kasus impor pertama COVID-19 di luar tempat pertama penyakit itu ditemukan di Kota Wuhan, China.

Kasus impor pertama yang ditemukan di Thailand tersebut, yang terkonfirmasi dari pasien yang memiliki sejarah berkunjung ke pasar di Wuhan, menjadi pembuka epik baru perjuangan dunia melawan penyakit yang disebabkan virus SARS-CoV-2 itu.

Sudah lewat setahun sejak kasus pertama ditemukan di luar China, tapi kini hampir seluruh negara di dunia mencatatkan adanya kasus COVID-19 dengan tren global menunjukkan peningkatan baik penambahan kasus baru maupun kematian.

Menurut data WHO sampai dengan 24 Januari 2021, telah tercatat 97.464.094 kasus terkonfirmasi di seluruh dunia, dengan 2.112.689 orang meninggal dunia. Sementara itu, Indonesia sampai dengan Minggu (25/1) telah mencatat 999.256 kasus, dengan 798.810 orang dinyatakan sembuh dan 27.835 orang meninggal dunia.

Dengan mempertimbangkan tren penambahan dalam beberapa pekan terakhir yang memiliki kisaran sekitar 10.000 orang per hari, kemungkinan besar Indonesia akan segera melihat rekor konfirmasi kasus mencapai satu juta atau bahkan lebih.

Jika melihat dari sudut pandang statistik yang telah dijabarkan di atas, Aisyah hanyalah satu dari ratusan ribu kasus COVID-19 di Indonesia. Kematian ibunya hanyalah satu dari puluhan ribu angka tidak bernama yang diperbarui datanya setiap hari oleh pemerintah. Belum jika dibandingkan angka global, keduanya bagaikan pasir di lautan yang luas.

Dengan mudah Aisyah dan ibunya hanya akan menjadi catatan statistik dalam sebuah laporan yang akan dibaca bertahun-tahun kemudian bahwa dulu pandemi COVID-19 pernah memukul Indonesia, menginfeksi masyarakatnya dan menelan puluhan ribu nyawa warganya.

Sampai saat ini belum ditemukan senjata yang sangat ampuh untuk menghilangkan COVID-19 secara langsung.

Namun, keberadaan vaksin dan dimulainya proses vaksinasi memberikan secercah harapan akan ketahanan tubuh yang lebih baik untuk menghadapi virus penyebab COVID-19.

Protokol kesehatan masih menjadi "senjata dasar" untuk melawan penyakit yang muncul di China pada akhir 2019 itu. Tidak cukup 3M, kini juga perlu pendekatan 5M.

Protokol kesehatan 5M terdiri dari 3M yang telah banyak disosialisasikan sebelumnya dan ditambah dengan menjauhi kerumunan dan mengurangi mobilitas.

Hal itu menjadi penting karena Satgas Penanganan COVID-19 melihat selama pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM), kepatuhan akan protokol kesehatan belum meningkat signifikan.

"Hasil monitoring perubahan perilaku yaitu rata-rata kepatuhan memakai masker dan menjaga jarak di tingkat nasional, khususnya selama pembatasan kegiatan memberikan cerminan sebenarnya bahwa upaya kita untuk meningkatkan kepatuhan protokol kesehatan belum tampak signifikan hasilnya," kata Juru bicara Satgas Penanganan COVID-19 Prof. Wiku Adisasmito, dalam sebuah konferensi pers virtual, Kamis (21/1).

Menurut Wiku, hasil pengawasan Satgas di seluruh daerah melihat kepatuhan memakai masker naik menjadi 62,46 persen dari 50,27 persen sedangkan menjaga jarak naik dari 35,98 persen menjadi 53,09 persen.

Tapi kenaikan itu masih belum menyerupai tingginya kepatuhan saat awal upaya pengawasan pada September dan Oktober 2020, yang sempat menyentuh angka 84,77 persen dalam pemakaian masker dan 69,04 persen dalam menjaga jarak.

Hal itu, ujar Wiku, harusnya menjadi bahan refleksi bagi pemerintah baik pusat maupun daerah serta masyarakat untuk meningkatkan kepatuhan individu maupun komunitas.

Selain itu, patuh protokol kesehatan juga penting untuk proses vaksinasi yang tengah dijalankan saat ini. Protokol kesehatan yang ketat harus diterapkan baik sebelum maupun sesudah diberi vaksin.

Pakar kebijakan kesehatan dari Universitas Indonesia (UI) itu mengingatkan bahwa efek positif perubahan perilaku membutuhkan waktu lebih lama untuk memberi dampak kepada penurunan kasus.

Namun, langkah itu dapat menghasilkan perbaikan penanganan COVID-19 yang berkelanjutan jika dijalankan tanpa putus.

Semua itu dilakukan agar tidak ada lagi Aisyah kedua, ketiga, bahkan keempat, yang harus merasakan kehilangan orang tidak tergantikan, karena kepergian mereka bukanlah statistik semata.

#satgascovid19 #pakaimasker #jagajarak #cucitanganpakaisabun #janganberkerumun #kurangimobilitas

Baca juga: Kak Seto: Perlu pendampingan bagi anak yatim piatu terinfeksi COVID-19

Baca juga: Ketua KPU Tangsel meninggal dunia positif COVID-19

Baca juga: Varian baru COVID-19 Inggris mungkin lebih dapat menginfeksi anak-anak


Baca juga: IDAI: Pembukaan sekolah untuk pembelajaran tatap muka berisiko tinggi

Editor: Andi Jauhary
Copyright © ANTARA 2021