Tapi kalau dilihat, remaja putri prevalensinya 22,7 persen. Pada saat hamil prevalensinya itu menjadi 37,1 persen.
Jakarta (ANTARA) - Sibuk menangani masalah krisis kesehatan akibat pandemi COVID-19, jangan sampai mengesampingkan pelayanan kesehatan dasar yang juga masih menjadi tantangan di Indonesia saat ini.

Isu kekerdilan (stunting), atau kondisi kekurangan gizi kronis yang dialami oleh bayi di bawah usia lima tahun, sudah menjadi masalah di Indonesia, bahkan sebelum virus SARS CoV 2 resmi menyerang Indonesia pada Maret 2020.

Indonesia sudah berkutat dengan masalah kekurangan gizi kronis sejak lebih dari satu dekade terakhir yang pada puncaknya kasus balita stunting mencapai 37,2 persen berdasarkan Riset Kesehatan Dasar tahun 2013.

Meskipun perlahan, tapi pasti angka itu terus menurun di mana pada masa kepemimpinan pertama Presiden Joko Widodo menugaskan Kementerian Kesehatan untuk memprioritaskan penekanan angka stunting sejak 2016.

Pada Riskesdas tahun 2018, kasus stunting di Indonesia berhasil diturunkan menjadi 30,8 persen, selanjutnya pada tahun 2019 hasil Survei Status Gizi Balita Indonesia angka stunting kembali bisa ditekan menjadi 27,67 persen.

Pada 2020, pandemi COVID-19 di seluruh dunia memukul berbagai sektor kehidupan manusia baik itu kesehatan, ekonomi, dan sosial. Kementerian Kesehatan pun mengakui berbagai program kesehatan yang secara reguler dijalankan tidak mencapai target dikarenakan keterbatasan mobilitas akibat pandemi.

Tapi, pandemi tidak bisa dijadikan alasan sebagai keterbatasan jika penanganan kesehatan yang diperlukan segera, apa lagi sampai mengancam nyawa. Program imunisasi dasar bagi balita harus tetap berjalan, penanganan terapi bagi penderita penyakit kronis harus tetap dilakukan, termasuk pencegahan terjadinya stunting harus tetap dalam jalurnya.

Baca juga: Hari gizi, COVID-19, dan stunting

Baca juga: Menko PMK: Angka "stunting" diperkirakan naik karena pandemi COVID-19


Stunting dan anemia

Stunting merupakan keadaan kondisi bayi yang memiliki kekurangan gizi dan berlangsung secara kronis atau dalam jangka waktu yang lama. Bayi kekurangan gizi bukan hanya setelah dilahirkan, bahkan sejak dalam masa kandungan.

Lebih jauh lagi ditarik ke belakang, terpenuhinya gizi janin bayi di dalam kandungan tergantung dengan terpenuhinya gizi si ibu. Apabila gizi calon ibu sudah tidak terpenuhi sejak remaja, si calon janin nantinya juga berisiko tidak terpenuhi gizinya saat dalam kandungan.

Hulu dari kondisi kekurangan gizi kronis si jabang bayi adalah remaja putri yang kekurangan gizi. Salah satu kekurangan zat gizi penting yang paling banyak dialami oleh remaja putri adalah zat besi.

Anemia merupakan salah satu dari tiga beban masalah gizi di Indonesia selain malnutrisi dan obesitas. Anemia terjadi akibat kondisi kekurangan zat besi (Fe) yang tidak hanya menjadi masalah bagi Indonesia tetapi juga banyak dialami negara-negara di Asia.

Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dari tahun 2013 sampai 2018 terdapat kenaikan prevalensi anemia pada kelompok usia 15-24 tahun yaitu 18,4 persen menjadi 32 persen atau 14,7 juta jiwa.

Direktur Gizi Masyarakat Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan Dhian P Dipo menyebutkan bahwa saat ini populasi remaja di Indonesia sekitar 20 persen dari total penduduk. Dari total remaja di seluruh Indonesia tersebut, sebanyak 3 persen mengalami anemia. Artinya, dua hingga tiga dari 10 remaja di Indonesia mengalami anemia.

“Anemia kebanyakan diderita oleh perempuan dibanding laki-laki. Jumlah ini cukup besar, jadi sangat potensial bagi kita untuk mengatasinya terutama remaja putri karena sebagai calon ibu, maka harus jadi calon ibu yang sehat agar melahirkan bayi yang sehat bebas stunting,” kata Dhian.

Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy saat memberikan sambutan dalam peringatan Hari Gizi Nasional pekan lalu menegaskan pentingnya menekan angka anemia pada remaja untuk menurunkan angka stunting pada bayi.

“Kalau saat masa remaja sudah memiliki anemia, maka berpeluang menderita anemia saat hamil setelah menikah. Kondisi ini akan semakin buruk sebab pada saat hamil dibutuhkan gizi yang lebih banyak. Jika tidak ditangani akan berisiko terjadinya pendarahan saat persalinan, bayi berat badan lahir rendah, dan akhirnya melahirkan bayi stunting,” kata Muhadjir.

Selain itu menurutnya remaja yang mengalami anemia cenderung akan merasa lemah dan lemas sehingga malas dan lambat dan beraktivitas termasuk dalam menyelesaikan masalah.

Baca juga: BKKBN ditunjuk Presiden ketua program luar biasa penurunan "stunting"

Baca juga: Menko PMK sebutkan alasan "stunting" jadi perhatian Presiden


Meningkat saat hamil

Ahli gizi dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Prof dr. Endang Achadi menyebutkan angka prevalensi anemia pada remaja ini bahkan bisa meningkat hampir dua kali lipat pada saat mengandung.

Prevalensi penyakit anemia atau kurang darah pada usia remaja berisiko meningkat hampir dua kali lipat pada saat menjadi ibu hamil, yaitu dari 22,7 persen menjadi 37,1 persen atau meningkat sekitar 15,8 persen atau hampir dua kali lipat.

“Tapi kalau dilihat, remaja putri prevalensinya 22,7 persen. Pada saat hamil prevalensinya itu menjadi 37,1 persen,” kata Endang.

Peningkatan itu dipengaruhi oleh adanya defisiensi zat besi atau berkurangnya zat besi dalam darah karena kebutuhan yang cukup tinggi pada saat hamil.

Walaupun perempuan yang pada masa remajanya tidak mengalami anemia, pada saat hamil bisa menjadi anemia karena zat besi dalam darahnya sudah habis untuk memenuhi kebutuhan zat besinya sendiri saat hamil dan juga kebutuhan zat besi bayi yang di kandungnya.

Kementerian Kesehatan memiliki program pemberian tablet tambah darah (TTD) bagi remaja putri yang secara reguler dilakukan di sekolah-sekolah. Puskesmas bekerja sama dengan unit kesehatan siswa (UKS) di sekolah-sekolah dengan memberikan pasokan TTD secara gratis.

Bahkan di beberapa sekolah terdapat waktu di mana para remaja putri secara bersama-sama meminum TTD. Namun lagi-lagi pandemi COVID-19 yang menutup hampir seluruh kegiatan belajar mengajar di sekolah menjadikan program pemberian TTD terkendala.

Dhian menyebutkan remaja putri sebenarnya bisa mendapatkan obat TTD secara mandiri dengan membelinya di apotek terdekat.

Kebutuhan TTD bagi tubuh manusia sekitar 1 hingga 2 miligram per harinya. Zat besi sebenarnya bisa dipenuhi dengan makanan yang memiliki kandungan zat besi tinggi seperti hati ayam, hati sapi, atau daun bayam, dan lainnya.

Konsumsi tablet tambah darah ini untuk memastikan kekurangan zat besi dari makanan bisa terpenuhi.

Tablet tambah darah bisa diperoleh di UKS, di Puskesmas, atau beli secara mandiri karena dikonsumsi sepekan satu kali.

Dengan calon ibu yang sehat dan terpenuhi gizinya, harapan besar Indonesia untuk menekan angka prevalensi stunting di bawah 20 persen sesuai rekomendasi WHO bisa lebih mudah dicapai.*

Baca juga: Guru besar IPB ungkap penyebab kenaikan stunting di Bogor saat pandemi

Baca juga: BKKBN buat Program Keluarga Berencana Rumah Sakit tekan stunting


Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2021