mereka-mereka yang moderat dan tokoh pemuda atau tokoh masyarakat seperti banyak diam
Jakarta (ANTARA) - Tokoh muda Nahdlatul Ulama (NU) yang juga Direktur Panata Dipantara Dr Adnan Anwar mengharapkan para tokoh Islam moderat tampil di media sosial memberikan pemahaman dan mengisi ruang-ruang publik di dunia maya guna membendung dan mengikis propaganda kelompok radikal.

”Ini yang kadang menjadi kelemahan kita, mereka-mereka yang moderat dan tokoh pemuda atau tokoh masyarakat ini seperti banyak diam,” kata Direktur Panata Dipantara yang bergerak dalam bidang kajian kontranarasi dan ideologi dari paham radikal teroris tersebut dalam keterangan tertulis yang diterima, Jumat.

Menurutnya, jangan sampai kalah dari kelompok mereka yang gencar sekali melakukan propaganda dengan konten hoaksnya.

Adnan menyatakan, untuk mengatasi hal tersebut, tokoh-tokoh moderat juga harus sering tampil untuk bicara memberikan pencerahan dan pemahaman yang benar.

Lebih lanjut, pria yang pernah menjadi peneliti di Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) ini, juga berpendapat bahwa generasi milenial sebagai generasi penerus perlu bimbingan, pendampingan dan arahan yang sistematis agar mereka bisa berpikir positif dan inovatif. Tidak lupa, menurut Adnan, penguatan paham kebangsaan dan keagamaan yang moderat juga perlu diintensifkan.

”Karena generasi milenial ini harus memperkuat jati diri ke-Indonesiaan bahwa Indonesia ini memiliki peradaban yang sangat maju, sehingga ada kebanggaan nasional terhadap negara kita dan terhadap bangsa kita ini,” ujar Adnan yang saat ini ditugaskan untuk mengembangkan organisasi NU di kawasan Timur Tengah itu.

Apalagi, menurutnya, sebagai negara besar, Indonesia juga punya sejarah besar dengan sikap toleransi yang sangat besar dan bisa mengelola perbedaan serta bisa mengelola berbagai macam tantangan yang ada.

Ia berpendapat bahwa hal itu dapat disebut sebagai kebanggaan nasional juga, sehingga generasi muda tidak usah lagi punya imajinasi liar, seperti misalnya ingin mendirikan negara Islam.

”Karena hal itu sudah terbukti gagal di banyak negara. Dan agak sulit untuk membuktikan bahwa negara Islam yang dipaksakan itu akan menghasilkan kesejahteraan. Beri pemahaman dan contoh bagaimana negara yang hancur seperti di Timur Tengah itu, telah gagal dalam mengelola generasi mudanya karena negaranya terus berkonflik,” kata pria yang pernah menempuh pendidikan Master Bidang Hubungan Internasional di Jerman itu pula.

Adnan meminta agar sumber-sumber sejarah yang otentik seperti karya-karya ulama, tokoh nasional ataupun tokoh bangsa ketika mereka mensosialisasikan berdirinya negara Indonesia ini harus direproduksi ulang. Dengan disosialisasikan dalam bentuk yang baru diharapkan hal ini bisa menyentuh generasi milenial. Tetapi kontennya adalah tentang nasionalisme Indonesia, nasionalisme Islam, tentang Pancasila, tentang NKRI.

”Mungkin harus dikemas dalam bentuk baru, karena generasi milenial ini menyukai bentuk-bentuk yang lebih aktual atau lebih moden. Ini supaya anak-anak milenial itu tidak punya keinginan mengakses konten-konten radikal yang mana mereka itu tidak tahu kalau bisa terpengaruh paham radikal itu,” ujarnya lagi.

Menurut instruktur Pendidikan Kader Penggerak Nahdlatul Ulama (PKPNU) Nasional tersebut, media-media Islam yang intoleran dapat mengancam persatuan dan persaudaraan umat Islam maupun umat agama yang lainnya. Karena itu, jika media-media itu dibiarkan berkembang dan tidak ditutup, dapat merusak Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan ideologi Pancasila.

”Konten-konten itu menurut saya sudah mengarah kepada ‘membakar rumput di padang ilalang’. Yang mana ancaman ini menggunakan strategi propaganda dan ghaswatul fikr atau perang pemikiran,” ujarnya pula.

Tokoh pemuda NU ini berpendapat bahwa apabila upaya persuasif, pembinaan dan dialog dianggap menemui jalan buntu, seharusnya pemerintah harus lebih tegas. Pelarangan harus dijalankan dan jangan takut untuk melakukan tindakan penutupan.

”Karena media dakwah kelompok-kelompok wahabi ini bukannya memahami perbedaan yang ada di Indonesia ini sebagai rahmat, namun perbedaan sebagai jalan pengukuhan kebenaran kelompoknya untuk mengeksklude (meminggirkan) kelompok lain dari Islam,” kata dia lagi.
Baca juga: Wapres: Indonesia Maju tidak tercapai kalau situasi tidak kondusif

Pewarta: M Arief Iskandar
Editor: Budisantoso Budiman
Copyright © ANTARA 2021