Jakarta (ANTARA) - Guru Besar Paru FKUI, Prof. Tjandra Yoga Aditama mengatakan, perkembangan mutasi virus COVID-19 di India mengharuskan orang-orang dari negara lain, termasuk di Indonesia untuk selalu waspada.

Sebagai salah satu upaya mengantisipasi berbagai varian dan mutan baru COVID-19 dari luar negeri ialah pemeriksaan PCR secara berulang bagi orang-orang yang tiba di Indonesia.

"Bila ada pelawat dari luar negeri maka memang sebaiknya dilakukan pemeriksaan PCR ulangan setibanya di Indonesia," kata dia dalam pesan elektroniknya, Selasa.

Baca juga: Penerbangan China pertimbangkan buka kembali jalur kargo ke India

Baca juga: Menkes: Mutasi virus India sudah sampai di Indonesia


Apabila hasilnya negatif, dia tetap harus menjalani karantina sesuai masa inkubasi yang dimulai ketika seseorang terinfeksi virus hingga akhirnya muncul gejala yakni dua pekan.

Tetapi, bila hasil pemeriksaan positif, maka pasien perlu ditangani, diisolasi dan diperiksa whole genome sequencing-nya (pengurutan genom lengkap adalah proses menentukan urutan DNA lengkap dari suatu genom organisme pada satu waktu).

Terkait mutasi COVID-19 terutama yang menyebabkan naiknya kasus penyakit di India beberapa waktu lalu, Tjandra menyebut ada dua kelompok besar jenis.

Pertama, jenis "Variant of Concern" (VOC) yang sudah dikenal luas, yaitu: B117 yang pertama kali terdeteksi di Inggris pada 20 September 2020 dan kini sudah ada di 130 negara di dunia termasuk Indonesia.

Kemudian, B1351 yang pertama kali dilaporkan di Afrika Selatan pada awal Agustus 2020 dan sekarang sudah ada di lebih dari 80 negara. Menurut laporan, mutasi ini mungkin mempengaruhi efikasi vaksin, termasuk Astra Zeneca yang digunakan di Indonesia.

Terakhir, P1 atau B11281 yang awalnya dilaporkan di Brazil dan Jepang yang kemudian sudah menyebar ke sekitar 50 negara di dunia.

"Ketiga jenis VOC ini tentu mungkin jadi salah satu penyebab kenaikan kasus di India," tutur Tjandra.

Jenis mutasi kedua, yang kemudian banyak dibahas adalah mutan yang bermula dilaporkan dari India, bahkan disebut "double mutant" dan belakangan malah juga ada "triple mutant".

Beberapa hal tentang mutasi ganda atau mutasi "double" yaitu B1617 yang dilaporkan berasal dari dari India dan kini sudah menyebar ke lebih dari 20 negara, termasuk ke Inggris.

Tjandra mengatakan, sebenarnya, dari sekitar 11 perubahan, ada dua mutasi yang dianggap paling banyak berpengaruh pada perjalalan penyakit COVID-19, yaitu E484Q. Mutasi ini sedikit banyak ada kemiripan dengan mutasi E484K yang pertama kali di deteksi di Afrika Selatan dan Brazil dan sudah ada juga di Indonesia, serta mutasi L452R yang juga ditemukan di California Amerika Serikat.

"Gabungan keduanya ini yang kemudian jadi bahan bahasan, walaupun penelitian masih terus berjalan sampai nanti ada kesimpulan yang lebih pasti," kata dia.

Para pakar kesehatan juga melaporkan mutasi lebih baru lagi, yakni B1618 yang disebut sebagai mutan "triple". Mutasi ini mula-mula dilaporkan di daerah Bengal Barat sehingga disebut sebagai virus korona "Bengal strain".

Laporan mengungkapkan, jenis ini lebih mudah menular lagi, dan juga mungkin dapat mempengaruhi efikasi vaksin, walaupun memang penelitian masih terus berjalan untuk mendapatkan informasi yang lebih pasti.

B1618 sendiri mencakup tiga hal yakni delesi pada H146 dan Y145 serta dua mutasi yaitu D614G dan E484K. Kedua jenis mutasi ini dalam keadaan terpisah sudah pernah dilaporkan di Indonesia. Pada awal April ini, mutasi yang banyak dibahas yaitu E484K atau dikenal dengan mutasi Eek.

Baca juga: Satgas imbau publik tidak panik varian baru COVID-19 E484K

Baca juga: Tetap waspada mutasi virus penyebab COVID-19

Baca juga: Guru Besar UI sebut E484K mutasi baru, bukan varian baru

Pewarta: Lia Wanadriani Santosa
Editor: Alviansyah Pasaribu
Copyright © ANTARA 2021