Gagasan sistem khilafah ini justru menjauhkan pencapaian cita-cita persatuan nasional Palestina.
Jakarta (ANTARA) - Perjuangan Palestina hendaknya dibaca sebagai gerakan nasionalisme rakyat untuk menentukan nasibnya sendiri sebagai negara yang berdaulat. Oleh karena itu, jika kemudian isu konflik ini digeser dalam politik identitas dengan framing solusi keagamaan tentu patut untuk mewaspadainya.

Apalagi, jika narasi yang yang dimainkan adalah khilafah sebagai solusi Palestina. Menyusupkan wacana khilafah ke dalam perjuangan (nasionalisme) Palestina justru menjauhkan rakyat Palestina dari pokok permasalahan yang sedang dihadapi dan menjadi hak mereka sebagai bangsa, yaitu mencapai kemerdekaan dan terbebas dari penjajahan.

Bangsa Palestina sedang berjuang untuk memulihkan kedaulatan politiknya sebagai bangsa yang merdeka. Untuk perjuangan itu, penumbuhan kerukunan kebangsaan Palestina tentu menjadi keniscayaan

Perjuangan politik sebagai bangsa itulah nasionalisme yang merupakan spirit persatuan sesama warga bangsa Palestina yang tentunya berhak untuk hidup bermartabat bersama bangsa-bangsa di dunia.

Dengan demikian, gagasan khilafah yang sejak awal menolak nasionalisme malah mengaburkan pokok perjuangan bangsa Palestina itu sendiri.

Baca juga: Berpijaklah pada kebenaran sebelum bersikap soal Israel dan Palestina

Ada tiga cara utama untuk mensterilkan perjuangan nasionalisme Palestina dari narasi khilafah dan politik identitas itu.

Pertama, membuka diri kepada realitas perjuangan bangsa Palestina, yakni di dalam bangsa Palestina sendiri saat ini terdapat beberapa faksi yang belum sependapat.

Karena adanya hal tersebut, ini berpendapat bahwa bangsa Palestina mengalami kesulitan yang sangat berat untuk menyelenggarakan urusan keamanan dan kesejahteraan bagi penduduknya sendiri. Apalagi, negara-negara Arab tetangganya juga belum sepakat untuk melangkah secara sinergis dan efektif untuk membantu Palestina.

Kedua, literasi tentang nasionalisme sebagai modal sosial yang pokok perjuangan kemerdekaan bangsa-bangsa.

Sejak awal Nabi Muhammad saw. membangun masyarakat berkeadilan dan bermartabat di Madinah menempatkan persatuan seluruh warga sebagai modal sosial yang utama.

Nabi Muhammad telah memelopori platform agung yang dikenal dengan Piagam Madinah yang senyatanya dapat menginspirasi kerukunan kebangsaan.

Contohnya, perjuangan bangsa Indonesia yang mana berjuang bermodalkan spirit yang disebut nasionalisme, kemudian setelah merdeka spirit tersebut menjadi semangat kebangsaan yang bersifat mengisi kemerdekaan dengan perjuangan untuk mencapai tujuan nasional. Babak-babak sejarah itu masih menjadi perjuangan bagi bangsa Palestina saat ini.

Ketiga, konsolidasi warga bangsa ke dalam strategi terpadu dalam memahami masalah-masalah antarbangsa.

Warga bangsa Indonesia perlu menyatukan diri ke dalam strategi terpadu untuk ikut mendukung perjuangan bangsa Palestina.

Baca juga: Irlandia desak Israel akhiri "aneksasi de facto" atas tanah Palestina

Politik luar negeri bebas aktif yang dirintis oleh Proklamator yang juga wakil presiden pertama Republik Indonesia Mohammad Hatta tentunya merupakan pilihan terbaik di dalam mewujudkannya.

Konsep khilafah yang menolak gagasan nasionalisme ini tidak cocok digunakan sebagai upaya perjuangan membantu Palestina ataupun digunakan di Indonesia sendiri karena yang diperjuangkan oleh para ulama Indonesia bersama-sama semua pendiri bangsa ketika merdeka dahulu adalah kesadaran untuk hidup rukun, adil, dan bermartabat.

Untuk menghindarkan diri dari provokasi khilafah dalam perjuangan Palestina ini, ada empat strategi yang berguna, yaitu:

Pertama, menyadari bahwa setiap bangsa memiliki hak untuk merdeka sebagai sebuah bangsa. Hal itu dapat dicapai melalui kerukunan kebangsaan yang kokoh. Kerukunan kebangsaan itu tidak menjadi perhatian dari konsep khilafah.

Kedua, menyerap pelajaran penting dari strategi para rasul dalam membangun akhlak umat. Yang mana hal itu bermula dari persaudaraan kebangsaan, ajakan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, gerakan kemakmuran bersama, dan pola sikap reflektif agar tidak bertindak berlebihan.

Ketiga, gagasan-gagasan yang memperparah perpecahan haruslah selalu dihindarkan. Ditambah lagi, yang menyurutkan wibawa pemerintah yang sah. Gagasan khilafah di Timur Tengah sendiri banyak ditolak karena memicu perpecahan di kalangan masyarakat dan mengendurkan kepatuhan pada pemerintah yang sah.

Kebutuhan pokok bangsa Palestina saat ini adalah penguatan kerukunan nasional dan konsolidasi pemerintahan sebagai modal pokok perjuangan menuju kemerdekaannya.

Keempat, terbuka untuk mempelajari sejarah pasang surut perjuangan bangsa Palestina sendiri, terbukti bangsa Palestina berada di puncak pencapaian pada saat mereka bersatu sebagai sebuah bangsa, mampu mengakomodasi keragaman rakyatnya, dan berhasil menegakkan supremasi kepemimpinan nasional.

Baca juga: Negara-negara muslim upayakan penyelidikan PBB dalam konflik Palestina

Ditambah strategi kelima, pada era modern sekarang dukungan internasional lebih mudah didapatkan jika suatu perjuangan kebangsaan benar-benar mewakili seluruh elemen bangsa itu.

Politik identitas memperuncing perbedaan primordial di tengah masyarakat.

Ekses dari gagasan khilafah itu adalah menguatnya politik identitas itu. Maka, gagasan sistem khilafah ini justru menjauhkan pencapaian cita-cita persatuan nasional Palestina.

Dalam masalah ini, masyarakat terkait dengan solidaritas kemanusiaan yang harus dibangun dalam menghadapi konflik Palestina dan Israel ini yakni agar masyarakat mengikuti arahan dari pemerintah Indonesia, termasuk melalui pemerintah daerah.

Termasuk juga jalur yang dipergunakan untuk menyampaikan bantuan dana infak atau derma juga melalui lembaga-lembaga yang direkomendasikan oleh Pemerintah.

Semua ini bertujuan untuk menjaga agar amanah tertunaikan dengan baik, tepat sasaran, bermanfaat, efektif, dan terbebas dari risiko yang membahayakan. Risiko yang membahayakan, misalnya kekeliruan mengirimkan dana bantuan uang kepada pihak tertentu yang ternyata bermasalah secara hukum.

*) Drs. K.H. Mohammad Dian Nafi, M.Pd., Pengasuh Pondok Pesantren (Ponpes) Al-Muayyad Windan, Sukoharjo juga alumnus Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Sebelas Maret Surakarta, Jawa Tengah, dan Wakil Rais Syuriyah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Tengah.

Copyright © ANTARA 2021