Menaikkan harga rokok setinggi-tingginya
Jakarta (ANTARA) - Sejumlah organisasi pelajar Indonesia meminta pemerintah dapat mencapai Sustainable Development Goals SDGs pada tahun 2030 dengan memperhatikan inklusivitas, perdamaian, dan pengendalian konsumsi rokok pada anak remaja.
 

“Dengan adanya pemahaman sejak dini, diharapkan para pelajar memahami dan mampu menanamkan nilai-nilai inklusivitas dan perdamaian " kata 
kata Ketua Umum Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (PP-IPPNU) Nurul Hidayatul Ummah dalam siaran tertulis yang diterima di Jakarta, Rabu.

Lebih lanjut dikatakannya perbedaan latar belakang tidak boleh menjadi penghalang dalam upaya saling menghormati, menghargai, dan kerja sama dalam kehidupan sehari-hari.

"Kita harus menciptakan situasi yang seimbang dan harmoni, yang tidak berat sebelah bagi pihak yang kuat tetapi sama-sama sederajat dan seimbang bagi semua pihak,” kata Nurul Hidayatul Ummah.
 

Nurul menjelaskan, pihaknya telah melakukan sejumlah aksi seperti meminta kenaikan cukai hasil tembakau setinggi-tingginya agar harga rokok tidak terjangkau, pelarangan iklan atau promosi dan sponsorship rokok, penerapan kawasan tanpa rokok di seluruh wilayah kabupaten atau kota, dan adanya regulasi yang yang kuat untuk mengatur rokok elektronik.
 

“Hal ini selain untuk mendorong pencapaian SDGs, juga mendukung Indonesia memiliki sumber daya manusia yang unggul, yang juga dicita-citakan oleh Presiden kita, Bapak Joko Widodo” kata dia.

 

Peneliti Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS-UI) Risky Kusuma Hartono mengatakan konsumsi rokok sangat penting untuk dikendalikan karena dampaknya yang multidimensi.
 

“Menaikkan harga rokok setinggi-tingginya menjadi pengendalian yang efektif agar para remaja tidak mudah dalam menjangkau rokok. Tentu hal ini juga harus diikuti oleh pengendalian konsumsi rokok lainnya, seperti pelarangan penjualan rokok secara batangan,” kata dia menjelaskan pentingnya pengendalian rokok pada remaja.
 

Berdasarkan data Riskesdas tahun 2018, salah satu permasalahan yang sedang dihadapai Indonesia adalah meningkatnya prevalensi perokok anak usia 10-18 tahun yang semula sebesar 7,2 persen pada tahun 2013 berubah menjadi 9,1 persen pada tahun 2018.
 

Dalam keterangan tertulis disebutkan, angka ini masih jauh dari target pemerintah dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2024, yang memiliki target menurunkan prevalensi perokok anak sebesar 8,7 persen.
 

Hal itu disebabkan oleh harga rokok yang murah dan pengaruh teman sebaya yang memiliki kaitan erat dengan prevalensi perokok anak di Indonesia.
 

Direktur Pembinaan Tenaga dan Lembaga Kebudayaan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) Judi Wahjudin mengatakan untuk menjaga perdamaian bukan sekadar soal ketiadaan kekerasan atau situasi yang anti kekerasan.
 

“Budaya damai itu menyangkut pola pikir, cara bersikap, perilaku, karakter, mentalitas, keyakinan, pola hubungan dengan pihak lain, tata kehidupan bersama yang ditandai dengan nilai-nilai luhur seperti keadilan, kesetaraan, demokrasi, dan solidaritas. Oleh karena itu, untuk membangun budaya damai harus dilakukan sejak dini melalui pembentukan karakter generasi muda.” kata Jubi.


Baca juga: Remaja masih merokok, Ketua DPRD Kota Bogor: Perda KTR belum efektif

Baca juga: YPI: Anak dan remaja target pemasaran industri rokok

Baca juga: FAKTA: rokok harus dibuat mahal


Pewarta: Hreeloita Dharma Shanti
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2021