Salah satu insentif EBT yang diberikan dalam bentuk kompensasi dari pemerintah kepada produsen listrik. Di sisi lain, insentif ini perlu dilakukan hati-hati karena biayanya akan membebani anggaran negara
Jakarta (ANTARA) - Pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Energi Baru Terbarukan (EBT) dinilai perlu memperjelas kewajiban pembelian dan kompensasi listrik sehingga tidak membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Anggota Komisi VII DPR RI  Anwar Idris dalam keterangannya di Jakarta, Sabtu, mengatakan pemerintah perlu mematangkan strategi terkait masalah investasi pembangunan pembangkit listrik EBT yang kurang bersaing dengan pembangkit energi fosil.

Menurut dia, harga EBT yang lebih mahal dibandingkan dengan fosil, menyebabkan produsen listrik memerlukan insentif dari pemerintah.

"Salah satu insentif EBT yang diberikan dalam bentuk kompensasi dari pemerintah kepada produsen listrik. Di sisi lain, insentif ini perlu dilakukan hati-hati karena biayanya akan membebani anggaran negara," kata Anwar Idris dari Fraksi PPP itu.

Selain itu, di tengah upaya mendorong transisi energi, pihaknya juga mengingatkan proses peralihan harus berjalan mulus dan tidak bisa serta merta melupakan kontribusi energi fosil yang masih sangat berperan.

Di sisi lain, Guru Besar Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Mukhtasor menyoroti mekanisme kerja sama jual-beli listrik.

Menurut dia, kerja sama PLN dengan swasta itu boleh, tetapi harus memastikan bahwa prinsip penguasaan negara harus berlaku.

Kondisi saat ini menunjukkan bahwa negara tidak dalam posisi punya fleksibilitas kecuali harus menanggung semua risiko yang terjadi dengan kompensasi dari APBN.

Dengan skema take or pay (TOP), PLN diwajibkan mengambil seluruh pasokan listrik terkontrak atau membayar denda bila tidak mengambil sesuai dengan volume terkontrak.

Di tengah kondisi ini, karena ada skema penalti berupa TOP tersebut, maka mau tidak mau PLN harus tetap membeli listrik dari para pengembang listrik swasta tersebut.

Padahal, saat ini, PLN tengah dihadapkan dengan kondisi kelebihan pasokan atau oversupply. Hal ini mengharuskan BUMN tersebut bekerja keras mencari demand baru demi menyerap listrik.

Saat ini daya mampu listrik PLN mencapai 57 gigawatt (GW), dengan beban puncak 39 GW, itu berarti ada cadangan daya hingga 31 persen.

"Beban tanggungan ini sangat berat dan akan semakin berat ketika RUU EBT memilih strategi yang salah, misalnya memahalkan harga listrik energi terbarukan ketika tren harga produksi semakin murah, seperti PLTS di dunia saat ini," ujarnya.

Selain itu, persoalan juga semakin parah ketika RUU EBT membuka ruang bahwa PLN dapat diwajibkan membeli listrik energi terbarukan dari swasta atau asing, padahal kondisi pasokan listrik sedang over supply atau berlebih.

Tahun depan, tambahan beban dari listrik TOP pada saat kondisi over supply ini dapat mencapai puluhan triliun rupiah, dan itu akan makin membengkak akibat penjadwalan atau perencanaan di saat pelemahan perekonomian seperti sekarang.

Adapun soal penentuan harga, penerapan feed in tariff (FiT) sudah tidak relevan dan kadaluarsa. Menurutnya, penerapan FiT tanpa insentif bagi industri rantai pasok kelistrikan itu berarti mengabaikan prinsip transisi energi khas Indonesia, yang diatur dalam UU No. 17/2007 tentang RPJPN atau Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional.

Baca juga: Anggota DPR: RUU Energi Baru Terbarukan beri kepastian investor

Baca juga: Anggota DPR: RUU EBT dorong energi bersih jadi lebih kompetitif

Baca juga: Realisasikan ekonomi hijau, DEN: Perlu sosialisasi dan edukasi RUU EBT

Baca juga: Di forum PBB, Anggota DPR: RUU EBT untuk sikapi krisis iklim dunia


Pewarta: Royke Sinaga
Editor: Ahmad Buchori
Copyright © ANTARA 2021