Tunis (ANTARA News) - Perdana Menteri Tunisia Mohammed Ghannouchi berjanji akan mundur setelah menyelenggarakan pemilu jujur pertama negara Afrika utara itu sejak merdeka, menyusul penggulingan penguasa kawakan Zine El Abidine Ben Ali.

"Setelah transisi itu, saya akan pensiun dari kehidupan politik," kata Ghannouchi dalam wawancara dengan televisi Tunisia, Sabtu, dan berjanji akan melaksanakan pemilu yang transparan dan demokratis-- pertama sejak merdeka" dari Prancis tahun 1956, sebagaimana dikutip dari AFP.

"Semua undang-undang yang tidak demokratis akan dicabut" dalam transisi ke demokrasi, tambahnya. Ia mengutip undang-undang pemilu, anti terorisme dan media.

Perdana menteri yang menduduki jabatan yang sama dalam pemerintah terdahulu sebelum Zine El Abidine Ben Ali digulingkan tepat sepekan sebelumnya, mengemukakan hal itu sementara para pemrotes Jumat menyeru agar semua tokoh pemerintah lama disingkirkan dari pemerintah.

"Seperti halnya seluruh rakyat Tunisia, saya khawatir" di bawah pemerintah Zine El Abidine Ben Ali, katanya dalam wawancara itu, pernyataan langsung pertamanya kepada rakyat negara itu.

Ghannouchi, yang sebelumnya dalam satu wawancara dengan sabuah stasiun radio Prancis mengatakan bahwa ia terkesan bahwa negara Afrika Utara itu diperintah oleh isteri Zine El Abidine Ben Ali, Leila, yang tidak popouler, Jumat, menegaskan hal seperti itu "tidak akan terulang lagi".

"Kami telah berubah 180 drajat," kata Ghannouchi dan menambahkan, "Kami cukup mampu dan adalah orang-orang yang kompeten" untuk mengurus negara.

Zine El Abidine Ben Ali mengundurkan diri dan lari ke Arab Saudi setelah 23 tahun berkuasa akibat pemberontakan rakyat atas banyaknya pengangguran, korupsi dan kemiskinan yang segera meningkat tanpa terkendalikan walaupun pihak aparat kemananan melakukan tindakan keras yang menimbulkan korban jiwa.

Ghannouchi berjanji akan menyelenggarakan pemilihan anggota parlemen dan presiden dalam enam bulan, tetapi belum ditetapkan tanggal dan konstitusi negara itu menetapkan pemilu itu harus diselenggarakan dalam kurang dari dua bulan.

Akan tetapi para pemrotes mendesak perdana menteri itu-- tokoh rezim lama-- mengundurkan diri.

"Anda mencuri kekayaan negara tetapi anda tidak akan dapat mencuri revolusi `Pemerintah mundur`. Kami akan tetap setia pada darah para syuhada," teriak para pemrotes, yang bergerak di tengah kota Tunis.

Beberapa di antara mereka membawa bendera Tunisia, yang lain membawa bendera serikat buruh UGTT, yang memainkan peran penting dalam protes yang memaksa Zine El Abidine Ben Ali melepaskan jabatannya.

Abid Briki, wakil ketua UGGT, mengemukakan kepada AFP, "Komite Eksekutif UGTT bertemu hari ini dan menyerukan pembubaran pemerintah dan pembentukan satu pemerintah bagi keselamatan nasional."

Serikat buruh itu menolak mengakui pemerintah baru yang diumumkan Senin, di mana tokoh-tokoh penting dari pemerintah Zine El Abidine Ben Ali memegang jabatan penting, menarik tiga anggotanya yang diangkat menjadi menteri.

Pada Jumat, bendera-bendera dikibarkan setengah tiang dan televisi pemerintah mengumandangkan ayat-ayat suci Al-Quran sementara Tunisia memulai hari berkabung nasional bagi 78 orang yang menurut para pejabat tewas ketika pasukan keamanan menindak keras para pemrotes sosial yang dimulai bulan lalu.

Pemrintah mengumumkan tiga hari berkabung dan reformasi penting yang demokratis seperti pembebasan semua tahanan politik, kebebasan penuh media dan pendaftaran gerakan-gerakan politik yang dilarang sebelumnya - termasuk Ennahdha --yang berlandaskan Islam.

Wartawan pembangkang Taoufik Ben Brik, yang tinggal di Paris, mengataka ia akan ikut mencalonkan diri dalam pemilihan presiden mendatang.

Mocef Marzouki, seorang pembangkang lain yang kembali ke Tunisia pekan ini, setelah bertahun-tahun tinggal di pegasingan di Paris, juga mengatakan ia ingin mencalonkan diri.

Kemarahan publik terutama ditujukan pada simbol-simbol utama rezim otoriter itu khususnya keluarga mantan presiden itu.

Para pejabat, Kamis mengatakan 33 anggota keluarga Zine El Abidine Ben Ali telah ditahan.
(*)

Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2011