Jakarta (ANTARA News) - Anggota Komisi I DPR Nurhayati Ali Assegaf menyesalkan keterlibatan elite-elite politik Partai Aceh di balik aksi demonstrasi menolak Pilkada Nanggroe Aceh Darussalam (NAD).

Padahal, ujar Nurhayati kepada pers di Jakarta, Senin, otonomi khusus yang diberikan kepada NAD seharusnya bisa menjadi pintu masuk jalannya demokrasi di negeri Serambi Mekah itu.

Untuk itu, politisi Partai Demokrat ini mendesak elite Partai Aceh untuk memberikan ruang tumbuhnya demokrasi di NAD dengan memberikan ruang calon independen sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi tentang calon independen yang dibolehkan maju dalam Pilkada Gubernur Aceh 2011.

"Sebagai parpol terbesar di NAD, seharusnya elite Partai Aceh tidak berlindung di balik UUPA (Undang-Undang Pemerintahan Aceh) dan MoU Helsinki dengan menolak hadirnya calon independen," ujarnya.

Untuk itu, katanya, pemerintah harus tegas dengan tidak membiarkan aksi demonstrasi penolakan terhadap calon gubernur independen berlarut-larut.

Nurhayati juga meminta seluruh pihak terkait untuk turun langsung menyelesaikan persoalan tersebut.

"Ini kan masa demokrasi yang seharusnya tidak boleh lagi terjadi penolakan seperti itu. Apalagi, putusan MK jelas memberikan ruang untuk calon independen. Jadi, apa yang harus diributkan? Karenanya, DPRD setempat yang mesti turun tangan mengatasi masalah ini. Ini tidak boleh terjadi," katanya.

Lebih jauh Nurhayati mengatakan, aksi demonstrasi penolakan terhadap calon gubernur independen sebenarnya masih jauh untuk disimpulkan sebagai tindakan makar. Namun, semua pihak harus mewaspadai semua kemungkinan ke arah itu dengan mengedepankan keutuhan NKRI.

"Jangan sampai polemik Pilkada NAD memunculkan benih-benih separatis jenis baru," ujarnya.

Ia mengakui bahwa penolakan terhadap calon gubernur independen bisa saja disebut sebagai kekhawatiran Partai Aceh kalah bertarung.

Elite politik Aceh, menurut dia, juga harus menyadari bahwa tindakan mereka melakukan boikot Pilkada berarti melawan hukum konstitusi NKRI.

"Kenapa harus menolak calon independen, sebab ini kan diatur UU. Kalau memang calon tersebut tidak diterima rakyat, pasti tidak akan dipilih. Jadi, kenapa harus ditolak? Selain itu, UU Pemerintah Aceh dan Kekhususan Aceh tetap harus tunduk di bawah konstitusi RI," kata dia.

Pemerintah pusat yang dalam hal ini Kemendagri, Kemenpolhukam dan DPR beserta pemerintah dan DPRD Aceh, menurut dia, harus segera menyelesaikan kemelut Aceh. Selain itu, ia juga berharap seluruh masyarakat Aceh bersatu untuk mewujudkan demokrasi yang jujur dan damai.

"Kita harus bersama-sama menyelesaikan ini. Kemendagri dan DPR harus mendorong agar persoalan Aceh segera diselesaikan. Yang pasti, sebagai negara hukum, semua harus tunduk pada aturan yang berlaku, tidak terkecuali elite politik Aceh," ujarnya.

Sebelumnya, survei yang dilakukan International Republican Institute (IRI) yang didukung oleh USAID membuktikan kehadiran calon independen lebih mendapat tempat di hati masyarakat ketimbang partai politik aceh.

Hasil survei itu menunjukkan 96 persen responden menyatakan partai politik tidak pernah berhubungan dengan mereka.

Responden juga tidak tahu isu atau masalah yang dibicarakan partai politik (66 persen). Sedangkan 11 persen mengatakan yang kerap dibicarakan oleh partai politik ialah soal pembangunan jalan atau perbaikan infrastruktur.

Untuk partai politik atau legislator, responden menginginkan mereka mendatangi rumahnya (65 persen) atau menggelar acara umum (32 persen) sebagai bentuk hubungan partai dengan konstituen. Menyangkut pelaksanaan pilkada, 47 persen responden tidak tahu banyak tentang pilkada, dan 35 persen tidak tahu sama sekali.

Jumlah responden dalam survei ini 1.075 orang dan jajak pendapat dilakukan pada 6-22 Agustus 2011 dan yang dirilis pada 2 November 2011 ini adalah analisis komprehensif dari sikap mengenai tinjauan ekonomi, sosial dan politik Aceh.

Survei digelar dengan tingkat kepercayaan 95 persen dan tingkat kesalahan tiga persen. Sedangkan respons untuk survei mencapai 83 persen.

Tujuan survei IRI ini adalah mengukur opini publik, dan menggunakan informasi tersebut untuk kepentingan kerja IRI dengan partai-partai politik Indonesia.

(T.D011/R007)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2011