Banyumas (ANTARA News) - "Gatrane ing sujana bumi nuswantara kejawen ngidung pralaya ngrembaka sinawung ing samudananipun, pangudi asmaning narantaka pangudi, sastraning kawula Gusti ing ngadeg warsa 4396 taun Islam".

Syair yang tertulis dengan huruf Jawa Kuno dalam lembaran daun lontar itu dibacakan seorang sesepuh bernama Dirman saat prosesi Jamasan Jimat Kalisalak, di Desa Kalisalak, Kecamatan Kebasen, Banyumas, Jawa Tengah, Rabu.

Dirman tidak menerjemahkan maupun menafsirkan syair berbahasa Jawa Kuno tersebut ke dalam bahasa Indonesia.

Demikian pula setelah Dirman membacakan lembaran daun lontar kedua yang diambilkan oleh juru kunci Langgar Jimat Kalisalak, Kiai Mad Daslam.

Setelah membacakan lembaran kedua yang bertuliskan "Jayabayaning tumitah ing tanah Jawi", dia pun tidak menafsirkan makna kalimat tersebut.

Menurut  juru bicara Langgar Jimat Kalisalak, Ilham Triyono mengatakan bahwa tulisan satra Jawa Kuno dalam lembaran-lembaran daun lontar yang tersimpan di Langgar Jimat Kalisalak tidak semuanya bisa terbaca pada saat jamasan yang digelar setiap tanggal 12 Maulud (Rabiul Awal) kalender Aboge.

"Lembaran daun lontar yang sekiranya bisa dibaca, diambil oleh juru kunci untuk dibacakan oleh orang yang ditunjuk. Kami tidak berani menafsirkan secara gamblang makna tulisan itu, silakan masyarakat yang menafsirkannya sendiri," katanya.

Jika diterjemahkan secara bebas, tulisan berbahasa Jawa Kuno pada lembaran daun lontar pertama itu mengandung arti "larikan orang pintar di tanah nusantara melagukan mati/kiamat berkembang dikemas di kata-kata semu, usaha namanya remuk redam, tulisan hamba Tuhan yang berdiri di tahun 4396 Islam", sedangkan lembaran kedua dapat diartikan "Jayabaya yang memerintah di tanah Jawa".

Dalam kesempatan terpisah, guru pelajaran Bahasa Jawa Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) 1 Bukateja, Purbalingga, Prasetyo mengatakan bahwa tulisan berbahasa Jawa Kuno dalam daun lontar itu merupakan rangkaian kata-kata sandi yang tidak bisa diterjemahkan secara leksikal atau berdasarkan kamus.

"Tulisan itu merupakan sandi sehingga harus diterjemahkan secara kontekstual," kata dia yang juga Ketua Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) Bahasa Jawa SMP Kabupaten Purbalingga.

Secara kontekstual, kata dia, tulisan dalam dua lembar daun lontar itu dapat diartikan "diramalkan dalam kitab Jayabaya yang memerintah di tanah Jawa seperti yang dituliskan oleh sastrawan atau orang pintar dalam kalimat semu atau syair bahwa tanah nusantara akan mengalami masa surut atau kiamat (pralaya) yang akan datang ketika orang sudah mulai lupa terhadap perintah Tuhan".

"Sastra dalam bahasa Jawa Kuno tersebut mengandung nasihat agar manusia bijak dalam menghadapi situasi alam dengan tetap mengingat perintah Tuhan," katanya.

Selain sastra Jawa Kuno, dalam prosesi Jamasan Jimat Kalisalak juga dibacakan penggalan tulisan dalam sebuah kitab sastra Arab peningalan Raja Mataram Amangkurat I yang tersimpan di tempat itu.

Penggalan sastra Arab itu dibacakan oleh sesepuh Masjid Baiturrahman, Dusun Pandak, Desa Kalisalak, K.H. Abdul Wahab.

"K.H. Abdul Wahab datang ke acara jamasan jika beliau mendapat firasat kalau akan ada lembaran dalam kitab sastra Arab yang bisa terbaca. Kalau tidak ada firasat, beliau tidak datang seperti beberapa jamasan terakhir," kata juru bicara Langgar Jimat Kalisalak, Ilham Triyono.

Dalam kitab sastra Arab yang dibacakan oleh K.H. Abdul Wahab dalam bahasa Jawa tersusun kalimat "lan ngendika manungsa apa kang ana ing manungsa mau, saiki ceritane kabar manungsa mau, satuhune Pangeran nira paring wahyu marang manungsa sing saiki padha metu sapa manungsa sing pira-pira panggonane manungsa supaya padha weruh sing pira-pira pegaweane manungsa, tapi sapa wonge nglakoni sabobote semut ireng ing kebagusan iku weruh kebagusan mau, lan sapa wonge nglakoni sabobote semut barang kang ala, iku bakal weruh kealaan mau".

Jika diterjemahkan secara bebas, rangkaian kalimat tersebut mengandung makna bahwa Tuhan  telah memberikan wahyu kepada manusia untuk dilaksanakan dimana saja dan dalam kegiatan apapun, siapa saja yang melakukan kebaikan meskipun hanya seberat semut hitam, dia akan melihat kebaikan tersebut, dan siapa yang melakukan keburukan meskipun seberat semut hitam, dia akan melihat keburukan itu.

Ritual jamasan
Jamasan Jimat Kalisalak ditujukan untuk mencuci barang-barang peninggalan Raja Amangkurat I yang dikabarkan sempat singgah di Desa Kalisalak dalam perjalanannya menuju Batavia untuk meminta bantuan VOC lantaran dikejar pasukan Trunojoyo yang memberontak sekitar 1676-1677.

Sejumlah barang milik Amangkurat I ditinggalkan di Desa Kalisalak agar tidak membebani perjalanannya.

Oleh warga setempat, barang-barang peninggalan Amangkurat I disimpan di sebuah bangunan yang dikenal dengan nama Langgar Jimat Kalisalak dan setiap bulan Maulud dikeluarkan untuk dijamas serta dihitung jumlahnya.

Penjamasan tersebut dilakukan dengan jeruk nipis serta sinar matahari, dan beberapa jimat dijamas menggunakan air yang diambil dari sumur Tegal Arum, di Slawi, Kabupaten Tegal.

Konon, Amangkurat I menggunakan air sumur Tegal Arum untuk menjamas pusakanya secara pribadi saat dalam perjalanan ke Batavia.

Amangkurat I adalah Raja Mataram yang bertahta pada 1646-1677. Ia adalah anak dari Sultan Agung Hanyokrokusumo dan Raden Ayu Wetan (Kanjeng Ratu Kulon), putri keturunan Ki Juru Martani yang merupakan saudara dari Ki Ageng Pemanahan.

Sosok yang memiliki nama kecil Mas Sayidin, yang ketika menjadi putera mahkota diganti dengan gelar Pangeran Arya Mataram atau Pangeran Ario Prabu Adi Mataram tersebut berusaha untuk mempertahankan wilayah kekuasaan Kesultanan Mataram.

Prosesi jamasan di Langgar Jimat Kalisalak ini selalu mendapat perhatian dari masyarakat untuk menyaksikannya karena mereka meyakini fenomena yang muncul dalam penjamasan ini sebagai suatu pertanda zaman.

Hal ini terlihat dari ratusan warga yang memadati tempat penjamasan pusaka peninggalan Raja Amangkurat I yang berlokasi di Langgar Jimat Kalisalak, Desa Kalisalak, Kecamatan Kebasen, Banyumas.

Kedatangan mereka bukan sekadar untuk mencari berkah dari air sisa penjamasan, tetapi lebih ditujukan untuk menyaksikan fenomena yang muncul selama prosesi jamasan tersebut berlangsung.

"Biasanya benda pusaka yang dijamas berubah, baik dari jumlahnya maupun kondisinya. Bahkan, kadang muncul barang baru atau benda yang tidak ditemukan saat penjamasan tahun lalu," kata salah seorang warga, Widya.

Menurut dia, warga meyakini perubahan kondisi maupun jumlah benda yang dijamas tersebut sebagai pertanda zaman.

Warga lainnya, Yanto mengaku ingin melihat pertanda zaman yang ditunjukkan dari benda-benda pusaka yang dijamas.

"Apalagi tahun 2014 ini akan dilaksanakan pemilihan umum, biasanya akan ada isyarat yang ditunjukkan oleh benda-benda yang tersimpan di dalam Langgar Jimat Kalisalak," katanya.

Dalam kesempatan terpisah, juru bicara Langgar Jimat Kalisalak, Ilham Triyono mengakui bahwa banyak masyarakat yang meyakini perubahan kondisi maupun jumlah benda pusaka tersebut sebagai pertanda zaman.

"Kami tidak bisa membeberkan secara jelas kepada masyarakat terkait setiap fenomena yang muncul dari benda-benda pusaka yang dijamas ini. Biarlah masyarakat yang menafsirkannya sendiri," katanya.

Beberapa fenomena yang muncul, antara lain "bekong" (alat takar beras) saat jamasan tahun sebelumnya terlihat kering, kali ini tampak basah.

Selain itu, dua kantong beras yang sebelumnya hanya satu buah yang berisi, pada jamasan kali ini kedua-duanya berisi, namun ukuran kantong yang satu tampak lebih besar dibanding satunya.

Fenomena lainnya terlihat dari "piti" (anyaman bambu) penyimpanan senjata yang tampak lebih rapi tanpa kerusakan. Pada jamasan tahun sebelumnya, "piti" tersebut terlihat tidak rapi dan terdapat kerusakan.

Bahkan, dalam jamasan kali ini, ada lembaran kitab sastra bertuliskan huruf Arab yang dapat terbaca. Padahal sebelumnya, sastra Arab tersebut tidak terbaca.

Setelah benda-benda tersebut dijamas dan digantikan kain pembungkusnya, benda-benda pusaka itu dimasukkan kembali ke dalam Langgar Jimat Kalisalak dan akan dijamas lagi pada tahun berikutnya.

Oleh Sumarwoto
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2014