Saya sangat mencintai Indonesia karena saya dilahirkan di sana dari ibu asal Manado dan ayah dari Hainan (Tiongkok)."
Beijing (ANTARA News) - Zhang Dao Shui (76) mengaku sangat mencintai Indonesia meskipun dirinya berkewarganegaraan Tiongkok, begitu pun sebelas saudara lainnya.

"Saya sangat mencintai Indonesia karena saya dilahirkan di sana dari ibu asal Manado dan ayah dari Hainan (Tiongkok)," katanya dalam obrolan dengan Antara di sela-sela peringatan HUT ke-71 Republik Indonesia di Beijing, Rabu.

Ia menuturkan, ayahnya hijrah ke Indonesia karena situasi Tiongkok yang masih belum maju. "Waktu itu Indonesia sangat maju dan kaya, maka ayah saya datang ke Indonesia mencari peruntungan bertemu dengan ibu saya dan menikah," tutur wanita paruh baya tersebut.

Wanita kelahiran Pangkalan Susu, Sumatera Utara, tersebut mengungkapkan ibunya mengikuti kewarganegaraan Tiongkok. "Karena istri kan harus ikut suami. Akhirnya anak-anaknya pun ikut menjadi warga negara Tiongkok, meskipun lahir di Indonesia," ujarnya.

Saat Tiongkok menyatakan kemerdekaannya pada 1 Oktober 1949 dan situasi politik Indonesia yang menghangat hingga puncaknya pada 1965, satu per satu kakak-kakaknya hijrah ke beberapa daerah di Tiongkok.

Zhang hijrah ke Tiongkok setelah lulus SMA pada 1960 melalui Guangzhou lalu ke Beijing. "Tidak mudah untuk mendapatkan visa dan paspor Tiongkok saat itu. Kami harus menandatangani beragam dokumen hingga 100 tanda tangan baru dapat visa dan paspor," ungkapnya.

Dirinya dan warga Tiongkok lain yang terpaksa kembali ke tanah leluhurnya harus menandatangani surat pernyataan bahwa yang bersangkutan tidak akan kembali ke Indonesia.

"Jadi, kami merasa saat itu sudah tidak mungkin lagi ke Indonesia. Dan akhirnya hingga sekarang kami berada di Tiongkok," ungkap wanita yang mengisi kesehariannya antara lain dengan mengajarkan Bahasa Mandarin anak-anak diplomat Indonesia atau masyarakat Indonesia lainnya.

Ia mengaku sudah sejak 1991 mengajar Bahasa Mandarin bagi anak-anak Indonesia.

Selain Bahasa Mandarin, dia juga mengajarkan Fisika dan Matematika, yang merupakan jurusannya saat menuntut ilmu di salah satu universitas di Beijing.

Kini, dengan semakin baiknya hubungan Indonesia-Tiongkok dirinya dapat ke Indonesia setiap tahun untuk "nyekar" ke makam ayah dan ibunya di Medan, Sumatera Utara.

Hal serupa dilontarkan Shenggui Mei. Wanita kelahiran Jakarta 75 tahun silam itu selalu teringat saat dirinya bersama keluarga atau teman-temannya serius mendengarkan pidato Presiden Soekarno melalui radio.

"Kenangan saya pada setiap pidato Bung Karno saat HUT Proklamasi sangat melekat. Setiap menghadiri peringatan HUT RI di Kedutaan Besar ingatan saya selalu menerawang kembali ke masa-masa saat saya masih berada di Indonesia," ujarnya dengan mata berkaca-kaca penuh haru.

Zhang dan Shengui Mei merupakan salah satu dari ratusan ribu warga Tionghoa di Indonesia yang terpaksa harus meninggalkan Indonesia pada 1959-1960 setelah pemerintah Indonesia mengeluarkan peraturan nomor 10/1959 dan hingga kini menetap di sejumlah wilayah di Tiongkok, antara lain Beijing.

"Umur saya waktu itu 21 tahun, saat meninggalkan Indonesia pada 1959. Tapi saya tetap mencintai Indonesia, saya tetap rindu Indonesia," ungkap Shenghui Mei.

Pewarta: Rini Utami
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2016